Minggu, 09 November 2008

Paku, sebuah filosofi apik dari mbah Manab

Mau jadi apa setelah kau besar nanti? Sebenarnya apa tujuanmu menempuh pendidikan pesantren?

Pertanyaan-pertanyaan seperti tadi mungkin sering kita dengar, bahkan mungkin kita sendiri yang mengalaminya. Bagaimana jawaban kita atas pertanyaan di atas? Tentu kembali ke pribadi masing-masing. Bagi yang sudah mempunyai visi ke depan, tentu bukan masalah. Tinggal berjuang dalam proses pencapaian visi tersebut. Akan tetapi bila belum mempunyai visi ke depan atau masih bingung akan nasib yang menanti, apakah kita akan selalu dalam tanda tanya? Terombang-ambing arus gelombang modernisasi di zaman teknologi, yang dalam bahasa kerennya MADESU ( Masa Depan Suram).

Tentu saja kita tidak ingin mengalami nasib seperti itu. Akan tetapi inilah realita. Banyak orang hidup tanpa visi, tanpa pegangan hidup, tanpa tujuan jelas, sehingga kehidupan amburadul & selalu dalam kebingungan.

Lha, terus gimana cara membangun visi dalam kehidupan kita? Jawabannya sebenarnya banyak. Manusia adalah makhluk paling sempurna. Banyak potensi yang diberikan Allah kepadanya. Seperti kata-kata sang motivator, kunci sukses itu ada banyak. Antara lain kerja keras, IQ tinggi, mengembangan potensi, bersikap kreatif, dan masih banyak lagi.

Akan tetapi saya tidak menjelaskan satu per satu dari itu semua. Saya bukan mau menjabarkan tentang visi. Saya hanya ingin mengutip maqolah mbah Manab tentang pentingnya meletakkan keikhlasan & tawakal dalam sebuah visi. Tidak muluk-muluk dalam bertujuan, lebih-lebih jika kita seorang santri. KH Abdul Karim, sang pendiri pondok pesantren Lirboyo, sendiri adalah seorang yang sangat tawadhu' & wira'i walaupun beliau termasuk sangat alim dalam masalah ilmu. Sudah sepantasnyalah jika beliau ingin santri-santrinya memiliki sikap tawadhu' dalam mencari ilmu. Maqolah ini saya dapat dari KH Abdul Aziz Mansur, Jombang, yang juga masih saudara dekat dengan masyayikh di Lirboyo, saat mengisi mau'idhoh di Jam'iyyah Pusat ArRohmah.

“Sepulang dari pondok, santri harus bisa menjadi/seperti paku”. Mungkin kita bertanya-tanya, kenapa harus paku? Bukankah masih banyak benda berguna lainnya yang bisa dijadikan suatu analogi? Ada apa dengan benda kecil itu? Mari kita kupas satu persatu, apa yang adadalam sebuah paku.

Paku termasuk komponen penting dalam suatu bangunan. Walaupun kecil, peran paku sangatlah besar, sangat diperlukan dalam hal pertukangan. Kayu-kayu dari berbagai macam ukuran & bentuk tak mungkin dapat bersatu dengan baik & membentuk suatu bangunan maupun perabot yang berguna. Maka dari itu dibutuhkanlah pemersatu kayu tersebut agar berguna lebih, yaitu paku. Dari berbagai jenis, bentuk dan ukuran kayu dapat disatukan & dibentuk dengan paku. Yang tadinya hanya untuk sengget untuk mengambil buah di pohon, dengan paku bisa disatukan dan membentuk barang yang lebih berguna seperti meja, kursi, bahkan bangunan. Dengan paku kayu yang kurang berguna bisa bersatu & lebih kokoh dari sebelumnya. Begitu juga santri. Ketika terjun di masyarakat kelak santri harus bisa mempersatukan berbagai lapisan masyarakat yang heterogen. Mulai dari kalangan bawahan yang selalu terpinggirkan sampai kalangan atas yang selalu mewah & elit. Santri harus dapat beradaptasi dengan mereka & menyatukan mereka. Sehingga terbentukalah suatu masyarakat yang kokoh & baik.

Paku merupakan unsur penting dari sebuah bangunan. Setiap bagian pasti membutuhkan pemersatu, yaitu paku. Mulai rangka atap yang selau di atas sampai kusen pintu yang selalu di bawah membutuhkan bantuan paku agar kokoh. Santri juga termasuk elemen penting dalam suatu masyarakat. Ia selalu dibutuhkan dimanapun berada. Oleh karena itu santri harus selalu siap & bertanggung jawab ditempatkan dimanapun. Mulai dari desa paling terpencil & terbelakang di puncak gunung sampai kota metropolitan paling elit di negeri ini. Karena santri merupakan kader dari kiai yang mana kiai & ulama adalah termasuk pewaris para nabi. Islam dalam kehidupan manusia sangatlah diperlukan. Maka dari itu golongan agamis, kiai, ustadz, & ulama harus selalu ada dalam suatu komunitas masyarakat. Allah tidak mungkin membiarkan suatu daerah terus menerus dalam kondisi jahiliyyah. Peram kiai & ulama lah yang menjadikan Islam tetap lestari dalam masyarakat.

Ketika sebuah paku dalam suatu bangunan rusak atau rapuh, maka paku tersebut perlu diperbaharui kembali. Jika tidak bisa-bisa paku yang sudah keropos malah melemahkan bangunan hingga akhirnya menyebabkan roboh. Paku yang sudah karatan, bengkok karena terlalu keras dalam penggunaan, atau memang paku yang tak bisa dipakai dalam mengokohkan bangunan, semuanya perlu diganti dengan paku yang lebih baik kualitasnya. Karena walaupun kecil paku sangat mempengaruhi kekokohan suatu bangunan. Ketika seorang santri (kyai) dalam masyarakat sudah sepuh, maka perlu adanya regenerasi kader-kader penerusnya, agar kesatuan & kekokohan agama dalam suatu masyarakat dapat selalu terjaga. Tentu saja seorang kyai sepuh berbeda dengan paku usang. Paku yang tak layak pakai perlu dibuang & diganti dengan yang lebih baik agar tidak mengganggu kinerja paku-paku yang lainnya. Berbeda dengan kyai sepuh, jangan sampai kita menyepelekan keberadaan kyai sepuh dalam suatu masyarakat. Karena bagaimanapun juga tanpa perjuangan mereka tak mungkin kekokohan & kesatuan agama sekarang ini dapat kita rasakan. Semua itu adalah berkat perjuangan ulama & kyai.

Seseorang yang mengamati keindahan suatu bangunan akan senantiasa mengamati keindahan arsitektur, harmonisasi ruangan, atau kekokohan bangunan tersebut. Tidak mungkin orang bertanya tentang paku yang menempel pada setiap bagian-bagian dari bangunan tersebut. Apakah kita pernah mendengar atau bahkan mengucapakannya sendri, "paku apa yang dipakai dalam membangun bangunan ini?". Sepertinya aneh jika orang bertanya seperti itu. Karena kodrat paku memang demikian, memberikan sesuatu yang bermanfaat tanpa mengharapkan imbalan apapun. Ikhlas merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki seorang santri. Ikhlas dapat digambarkan dengan paku di atas. Apabila seorang santri telah berhasil menghasilkan sesuatu, seperti mengokohkan agama dalam suatu masyarakat, maka harus selalu siap jika tidak dikenal. Akan tetapi sungguh keterlaluan jika sikap kita sebagai orang yang menikmati hasil jerih payah seseorang tanpa mengenal orang tersebut. Kita tetap harus menghormati orang yang telah memberikan perubahan pada masyarakat (kyai/santri). Dan bagi santri, walaupun memang layak mendapatkan penghormatan, jangan sampai mengharapkan suatu penghormatan ataupun pujian orang lain, ia harus selalu ikhlas.

Ternyata dari barang sekecil & sesepele paku kita bisa mendapatkan ilmu yang sangat berguna bagi kehidupan. Maha Suci Allah yang telah mencitakan sesuatu yang tidak pernah tidak ada manfaatnya. Walaupun kecil paku mempunyai tugas & peran besar dalam suatu bangunan. Begitupula santri, walaupun hanya minorotas dalam suatu masyarakat, tugas & perannya begitu besar di dalamnya.

Wallahu a`lam..

1 komentar:

Nihaya mengatakan...

wah km mang niat bet jadi santri sepuh alias pak kyai ya Gus Am?
hehehe

ini aku mau komen,
tetapi yang menghidupkan komunitas itu nggak hanya santri aja lho.
misalnya di kehidupan kampus yang aku jalani...
nggak ada tuh yang namanya kyai ato santri ato ustadzah.
tapi apa?
hasilnya sungguh sangat keren.
kami membimbing diri kami sendiri dengan ukhuwah dan kebersamaan sebagai muslim dan muslimah.
bahkan sepak terjang kami bisa ngalahin para pemuka agama di desa lho?
dakwahnya sungguh keren.
kami para intelektual muda bisa berseru lantang tentang islam, dan seluk beluk di dalamnya.

sekarang2 ini nggak banyak n jarang sekali ada diskusi antara pemuka agama dengan para intelektual.
mungkin kamu ato qt bisa mengubah tradisi itu am.
kita bisa menyatukan ilmu di sana bukan?
kaya zaman abbasyiah dulu di baghdad.
islam menguasai dunia kan.
gara2 apa?
ya itu tadi, selalu ada pertalian kental antara ulama dan intelektual.
dengan begitu islam modern yang canggih bisa muncul dan menaklukkan dunia!!!
smangat oke!!
gali terus potensi kita.