Senin, 23 Februari 2009

10 Hari dalam Motivasi Pak Asyhad

Jurnalistik, kata yang sering kudengar tapi kurang begitu kuketahui apa-apa yang ada di dalamnya. Yang kutahu jurnal adalah catatan atau agenda kegiataan serta semua yang ada di dalamnya. Kesimpulanku, jurnalistik adalah kegiatan yang berkaitan dengan tulis menulis sebuah peristiwa. Memang tak salah jauh dari definisi juranalistik di KBBI, serta setelah mengikuti kursus jurnalistik selama 10 hari bersama Bapak Saiful Asyhad.

Ketika SMA aku pernah baca majalah yang diterbitan oleh salah satu sekolah di Kediri, majalah IQRO' dari MAN 3. Aku bertanya-tanya sendiri, kenapa sekolahku tidak menerbitkan majalah sendiri? Ternyata memang ketika aku awal masuk di SMALA dunia jurnalistik sekolah megap-megap kehabisan minat. Kendalanya tak ada pembimbing intensif & pengurus tetapnya. Seingatku hanya KIR & mading yang tetep kukuh memperjuangkan hak asasinya. KIR pun kemudian hilang tak ada kabar setelah aktivis angkatanku (06/07) pensiun. Kan waktu itu yang megang Dyah, temanku yang terkenal semangat dalam menulis & organisasi. Tapi begitu regenerasi, KIR hilang entah ke mana. Sehingga tinggallah mading sendirian menegakkan jurnalistik di sekolahku. Aku makin berkecil hati untuk mengaah tulis menulisku di sekolah. Walau begitu tetap kuusahakan selalu bisa memenuhi buku catharku.

Seiring dengan berputarnya jarum jam, ketika masa aktif dalam organisasiku hampir habis, Bu Herlinarti sang kepala sekolah dipindahtugas & digantikan oleh Bapak Dwi Rajab. Bapak berkumis ini sangat getol dengan dunia tulis menulis. Melalui tangan beliaulah bendera jurnalistik SMALA kembali dikibarkan di antara kibaran ekskul-ekskul lainnya. Beliau juga mencetuskan penerbitan majalah sekolah dengan beliau sendiri sebagai penasehat sekaligus staf ahli. Mading yang dari dulu kurang teratur penerbitannya menjadi lebih representatif. bahkan tim mading SMALA sampai bisa ikut lomba mading yang diadakan Radar Kediri hingga semifinal. Benar-benar beliau merupakan tonggak bangkitnya dunia jurnalistik di SMAku tercinta. Aku bersyukur selama aku bersekolah bisa dekat & akrab denga beliau. Terima kasih Pak Dwi, walaupun tidak bisa ikut andil dalam jurnalistik Bapak, aku tetap bangga mempunyai kepsek seperti Bapak.

Bulan januari lalu Sie Pramuka Lirboyo mengedarkan pengumuman tentang diadakannya kursus jurnalistik. Tentu saja tak kusia-siakan kesempatan emas ini, mengingat aku ingin mencari bekal lebih dalam dunia tulis menulis. Aku & Ebi resmi menjadi salah satu peserta kursus ini. Kegiatan ini dibuka dengan pengarahan peserta di gedung al Ittihad pada hari pertama. Setelah itu selama 10 hari kursus dilaksanakan di lab bahasa belakang aula al Muktamar. Aku baru tahu kalau ternyata Lirboyo mempunyai fasilitas bergengsi semacam ini. Tapi ya gak kaget-kaget amatlah, SMAku kan juga punya...hehehe

Selama 10 hari jam tidurku berkurang, karena kursus ini dilaksanakan setelah hishoh tsani madrasah malam, tepatnya pukul 23.00 hingga 00.30 Wis. Walaupun begitu tetap saja menyenangkan. Tak lain karena adanya tekad & semangat juga tak luput dari gaya Bapak Saiful yang fear, terbuka, fun, & penuh semangat dalam menyampaikan materi & pengalamannya. Seketika itu kantuk yang tadinya menyerang hilang entah ke mana. Di hari pertama kursus, bapak dua anak ini bercerita tentang koran & wartawan. Kenapa koran? Karena itulah sasaran kami. Lewat kegiatan ini kami dituntut bisa menulis naskah berkualitas sehingga layak untuk dibaca khalayak umum lewat surat kabar. Istilah kerennya adalah freelancer (penulis lepas). Karena itu pak Saiful tak henti-hentinya menyemangati kami untuk bisa menelurkan karya tulis, syukur bisa diterbitkan dalam bentuk buku.Dakwah bil qalam gitu.

Setelah puas dengan joke-joke segar tentang wartawan, di hari kedua kami mulai disodori dengan contoh-contoh materi & membahasnya. Untuk materi pertama kami mengupas tentag berita di koran. Kami kuliti berita di hadapan kami sehingga kelihatan jelas kerangka-kerangkanya. Esok malamnya kami membahas features sebagai cerpennya berita. Berita yang telah lampau diolah & dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi features yang tak bosan untuk dibaca kapan pun. Dua materi awal ini merupakan tulisan yang dibuat oleh pihak koran sendiri, bisa wartawan atau redaktur. Akan tetapi tak menutup kemungkinan penulis lepas menulis berita & features. Karenanya itu bukanlah tujuan utama kami yang notabene masih berpredikat santri (pelajar) bukan wartawan.

Selanjutnya kami mulai memasuki lahan sasaran sebagai tempat tulisan kami. Yang pertama adalah opini. Opini merupakan tulisan yang berisi tentang pendapat penulis mengenai hal-hal yang sedang hangat di masyarakat agar pembaca bisa terpengaruh & berpihak kepadanya. Contoh-contoh opini banyak sekali tersebar di media masa. Setiap hari pun koran mnyediakan ruang opini kepada para penulis lepas. Kami diberi tiga contoh opini -salah satunya ditulis pak saiful & dimuat di Harian Bangsa- & lembaran pengembalian naskah dari redaksi yang dikirimi pak Saiful karena tulisan beliau tidak bisa dimuat. Untuk yang satu ini mungkin agak berat buatku. Aku kan jarang mengemukakan pendapat saat musyawarah. :P

Yang kedua adalah cerpen. Cerpen atau cerita pendek adalah suatu tulisan yang mengandung unsur-unsur cerita (tokoh, sudut pandang, plot, konflik, & amanat) yang hanya perlu sedikit waktu untuk membacanya. Pak Saiful menggambarkan, jika kita membaca cerpen sambil minum kopi maka cerpen tersebut habis kita baca ketika kopi kita juga habis kita minum. Gampangnya memang seperti itu. Akan tetapi membaca cerpen ternyata tak semudah yang kita kira. Sejak kesusastraan nusantara berkembang cerpen yang tadinya hanya sederhana kini mulai bermunculan cerpen-cerpen berbobot dengan bahasa yang sulit dicerna. Rata-rata yang seperti itu adalah cerpen filsafat yang lebih mengedepankan amanat & keindahan diksi kepada pembaca. Karenanya pak Saiful memerlukan waktu tiga hari untuk menyelesaikan seluk beluk yang dikandung cerpen. Selain itu juga karena firasat (atau lebih tepatnya "ilham" lewat mimpi) pak Saiful kalau peserta jurnalistik kali ini 75% lebih condong ke cerpen. Ada-ada saja ya.

Kita dikenalkan dengan cerpen anak, cerpen dewasa, & cerpen filsafat, juga diajarkan teknik membaca cerpen yang baik.

Kemudian materi selanjutnya adalah puisi. Hampir sama dengan cerpen, hanya diksi & amanat yang dikandungnya lebih tinggi. Semakin mahir kita memainkan diksi & menyisipkan amanat, semakin berkualitas puisi kita. Pertemuan untuk puisi hanya satu hari. Kita disodori berbagai macam puisi sastrawan nusantara mulai dari yang sederhana hingga yang paling aneh. Yang lucu adalah saat kita diminta membaca puisi karya Sutardji Calzoum Bachri. Berikut puisinya...

Luka

ha ha

Bagaimana? Aneh bukan? Akan tetapi makna yang terkandung di dalamnya ternyata begitu dalam. Makna tersebut sesuai dengan cara membacanya. Jika berteriak menandakan luka yang menyakitkan, jika dibaca dengan nada meremehkan mengandung arti meremehkan luka-luka saudara kita. Seterusnya bisa kita tafsirkan sendiri-sendiri. Dan jika ingin tahu makna yang sebenarnya kita harus bertanya langsung kepada penulisnya. Karena hanya penulislah yang mengetahui tulisannya.

Menjelang hari terakhir kita membahas tentang artikel bebas. Artinya terlepas dari semua yang sudah dibahas di hari sebelumnya. Bidangnya pun sangat banyak, seperti resensi, catatan perjalanan, tips, dll. Kemudian ketika hari terakhir kita diminta langsung mempraktekkan teknis pengiriman naskah dari mulai mengirim hingga mendapatkan balasan dari redaksi. Pak Saiful juga memberi tips kepada kita semua tentang senam sederhana yang bisa menumbuhkan semangat menulis kembali & doa agar tulisan yang kita kirim dapat dimuat.

Wah, pokoknya bener-bener gak rugi aku ikut kursus jurnalistik ini. Jam tidur yang rata-rata 5 jam sehari pun tak bisa dikatakan rugi dengan kursus ini. Semua itu tak lepas dari bapak staf ahli majalah Misykat ini dalam menyampaikan materi. Sehingga materi jurnalistik yang jika dilihat sekilas begitu berat terasa ringan & mudah dicerna. Membuat semangat menulis yang tidur dalam diri kita bangun. Tentu saja kegiatan 10 hari ini belum cukup untuk mengupas tuntas semua hal tentang jurnalistik. Karena ini masih merupakan pijakan awal untuk menaiki tingkatan ahli. Selain itu tak bisa lepas dari praktek menulis yang harus intensif. Paling tidak aku harus menggantungkan tujuanku untuk apa & siapa aku menulis. Penulis profesionalkah? OK, siapa takut?! Mulai sekarang harus menulis, menulis, & menulis (seperti yang disampaikan pak Saiful). Ingat, tak ada kemudahan sebelum kesulitan. Bukankah begitu?

Kamar Solo, 22 Februari 2009

Tidak ada komentar: