Minggu, 24 Mei 2009

Krisis dalam Pendidikan

Suatu negara tidak akan bisa bangkit dan maju tanpa adanya pendidikan. Dalam mengupayakan pendidikan ada banyak cara yang ditempuh oleh pemerintah. Salah satunya mengadakan & membuat fasilitas pendidikan, baik berupa sekolah, perpustakaan, ataupun mengadakan penyuluhan-penyuluhan langsung kepada masyarakat. Dengan adanya fasilitas tersebut diharapkan dapat menjadikan masyarakat lebih berpikir maju. Sehingga pembangunan & kemajuan bangsa dapat diraih. Karena bagaimanapun juga pelaku Negara atau masyarakat (rakyat) merupakan faktor penting, bahkan lebih penting dari para pencetus sistem pendidikan di negara. Karena jika rakyat maju secara otomatis bangsa juga ikut berkembang.
Sayang tidak semua orang/masyarajkat berpikir betapa pentingnya pendidikan. Bahkan tak jarang ada yang mengatakan pendidikan (sekolah) hanya membuang uang & waktu saja. Toh setelah selesai tak ada perubahan berarti. Bagi yang pengangguran tetap pengangguran, yang kuli tetap kuli, yang pekerja kasar tetap pekerja kasar. Lebih baik mengasah ketrampilan & keahlian yang dimiliki agar bisa meneruskan perjuangan orang tua mencari nafkah. Benarkah anggapan seperti itu? Anggapan tersebut hanya akan muncul dari orang yang memandang sempit kehidupan dengan dipenuhi perasaan pesimis.
Masyarakat beranggapan demikian tentu saja tak sekedar bicara. Mereka melihat & merasakan realita bangsa ini. Bahwa begitu banyak lulusan sarjana yang masih bingung akan masa depannya. Suram. Lantas bagaimana tidak pesimis dengan adanya fakta menyedihkan ini? Siapa yang salah?
Sebenarnya tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Introspeksi ke pribadi masing2-masinglah yang diperlukan. Dengan bermuhasabah maka akan timbul kesadaran dengan sendirinya. Jika sudah seperti itu kita bisa merasakan kekurangan masing-masing aspek, masyarakat, & sistem pendidikan.

Kekurangan dalam pendidikan formal
Pendidikan di Indonesia ada 2 macam, formal dan nonformal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang mengikuti sistem & aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Lembaga pemerintah membentuk depdiknas & depdikbud sebagai pengatur sistem pendidikan formal tersebut. Dimulai dari yang terendah, SD hingga perguruan tinggi mengikuti sistem & kurikulum yang ditetapkan kedua departemen tersebut. Dalam membentuk sistem & kurikulum Indonesia banyak mengaca pada negara-negara maju. Amerika, Belanda, Jepang, Inggris dijadikan pembanding sistem pendidikan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena Indonesia merupakan Negara yang masih berkembang. Pantas jika ingin meniru negara-negara lain yang lebih maju. Tak terkecuali pendidikan. Negara-negara maju begitu mengutamakan sains, IPTEK, & seni sebagai faktor utama kemajuan. Disadari atau tidak dampak terlalu mendahulukan ketiga aspek di atas dapat memudarkan faktor terpenting dalam dunia pendidikan, hati (tata karma).
Hati bisa diidentikkan dengan perasaan. Di dalamnya terdapat banyak hal agar hati dapat mencapai tujuannya 100 %. Sebagai manusia yang diberikan nafsu oleh Allah, perasaan (hati) merupakan pengendalinya. Nafsu identik dengan hal-hal yang dapat berdampak negatif bagi kita. Karenanya Allah menciptakan perasaan yang berisikan hal-hal positif dariNya untuk mengekang nafsu. Diantara yang dapat menjadikan hati mampu mengendalikan nafsu adalah agama & akhlak. Facktor penting inilah yang menjadi kekurangan dalam pendidikan kita. Apa gunanya ilmuwan jika tak punya akhlak? Apa jadinya seniman yang buta akan agama? Apa jadinya pejabat yang tak berakhlak? Maka dari itu seharusnya pendidikan yang lebih diutamakan pertama kali adalah pendidikan hati, agama, & akhlak.

Pendidikan agama di masyarakat
Pendidikan agama seharusnya merupakan pendidikan pertama yang diterima seorang anak didik. Di sini tidak membatasi umur berapapun. Bahkan sejak kecil kita minimal memang harus mulai tahu agama. Tak heran banyak orang-orang tua yang memberikan pendidikan agama sejak kecil, baik itu orang tua sendiri yang mengajarkan atau disekolahkan di TPA, TPQ, atau madrasah. Minimal seorang anak mengerti mana yang baik & buruk. Dengan menanamkan nilai-nilai agama sejak dini kepada anak menjadikan anak akan selalu berpikir sesuai hati nurani sebelum bertindak. Baik atau burukkah yang dilakukannya? Kebiasaan menuruti hati nurani tersebut akan selalu lestari jika benih-benih agama yang telah ditanamkan di hatinya selalu dirawat dan dipupuk. Karenanya pendidikan agama bukan sebatas TPA saja. Para remaja & orang-orang tua pun juga selalu membutuhkan siraman rohani agar perilakunya sesuai dengan rel yang ditetapkanNya.
Akan tetapi ternyata yang terjadi di masyarakat justru sebaliknya. Pendidkan agama hanya diajarkan pada waktu kecil. Jika sudah besar mereka melupakan agama & mulai menekuni ilmu-ilmu baru. Sains, teknologi, sosial, ekonomi, matematika dll. Siraman rohani hanya ditanamkan ketika TPA, setelah SMA hingga perguruan tinggi siraman duniawilah yang diutamakan. Maka jangan heran jika banyak seklai orang pintar, cerdik, pandai di negeri ini yang tak berakhlak & berhati nurani. Akibatnya Indonesia kehilangan identitasnya sebagai negeri gemah ripah loh jinawi yang begitu menjunjung tinggi sopan santun.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia
Agama islam memang bukan agama asli Indonesia. Islam masuk pertama kali sekitar abad pertengahan yang mana pada masa itu agama Hindu & Budha yang mendominasi wilayah Indonesia. Jadi Islam merupakan agama baru bagi Indonesia dulu. Akan tetapi agama inilah yang memberikan pencerahan, kedamaian, & keteraturan bagi masyarakat Indonesia hingga kini. Tak lain adalah karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya serta tak lepas dari peran para penyebar islam di tanah air.
Dalam menyebarkan agam islam para walisongo menggunakan metode dakwah dengan langsung terjun ke masyarakat & mendirikan lembaga pendidikan. Metode pendidikan yang digunakan para walisongo merupakan hasil akulturasi budaya timur tengah (asal walisongo) dengan Indonesia. Metode tersebut terbukti sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia. Karenanya hingga kinipun masih tetap lestari buah pikiran para wali ini.
Salah satu lembaga pendidikan yang tetap eksis menggunakan metode walisongo adalah pesantren, khususnya pesantren salaf. Ciri khasnya antara lain mengambil rujukan dari kita-kitab para ulama salaf, menggunakan aksara pegon buah karya Sunan Ampel, selalu menerapkan sikap tawadhu’ & qona’ah, & ta’dhim kepada guru. Sebenarnya pelajaran paling penting yang diajarkan di pesantren adalah masalah aqidah & akhlak. Kedua aspek ini tidak banyak membutuhkan teori, karena metode prakteklah yang harus digunakan. Dalam menerima santri seorang kiai lebih memperhatikan akhlaqul karimah santri daripada kecerdasan otak. Tak jarang di mata masyarakat pesantren merupakan wadah pembentuk akhlak. Bahkan bisa dikatakan sebagai tempat rehabilitasi bagi santri-santri yang tergolong nakal. Hingga kini mata pelajaran akhlaklah yang menjadi ciri khas pesantren. Hal ini sejalan dengan budaya Indonesia yang menjunjung tinggi sopan santun.

Globalisasi Pesantren
Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan dengan perkembangan teknologi adalah berbanding lurus. Pendidikan akan ikut berkembang jika sebuah bangsa maju. Begitu pula pendidikan pesantren. Di era teknologi ini pesantren mulai membenahi kesan udiknya dengan mengambil hal-hal positif dari globalisasi. Kini banyak ditemui berbagai pesantren yang mulai memasukkan teknologi dalam sistem pendidikannya. Tak jarang pula ada pesantren yang menggunakan kurikulum internasional dalam pendidikannya. Disadari atau tidak lama kelamaan tradisi pesantren mulai terkikis.
Banyak pesantren yang lebih mengdepankan keilmuan duniawi. Kajian kitab kuning & tradisi ulama salaf dijadikan sambilan. Negara-negara barat dijadikan rujukan. Lantas bagaimana nasib pendidikan pesantren rintisan walisngo?

Peran Pesantren (Salaf)
Melihat kenyataan bahwa mulai tergerusnya nilai-nilai pesantren maka seyogyanya kita sebagai warga pesantren melakuakan pelestarian kembali. Agar identitas pesantren sesungguhnya tidak hilang ditelan zaman. Syukurlah hingga kini masih ada pesantren yang tetap memegang teguh sistem pendidikannya dengan tidak mencampuradukkan sistem pesantren dengan kurikulum pemerintah. Pesantren mengambil masukan yang bias berdampak positif kini dan nanti.
Sebagai santri, kitalah penyambung mata rantai tradisi ini agar tidak punah. Kita seharusnya tidak minder & malu sebagai santri. Yang kadang dicap udik, dibilang kolot, disebut tak berpendidikan. Biarlah anggapan masyarakat tentang santri. Memang sudah menjadi ciri khas bahwa sikap tawadhu'lah yang selalu menonjol dari santri. Yang mana dibalik itu semua tersimpan cahaya agama & lautan ilmu yang berguna untuk menyeimbangkan kebobrokan zaman.
Mari lestarikan kembali nilai-nilai pesantren.

Lirboyo, 26 Mei 2009

Kamis, 21 Mei 2009

Merenungi 100 tahun Kebangkitan Nasional

Bangkit itu. .
Susah
Susah melihat orang susah
Senang melihat orang senang

Bangkit itu. .
Takut
Takut korupsi
Takut makan yang bukan haknya

Bangkit itu . .
Mencuri
Mencuri perhatian dunia dengan prestasi

Bangkit itu . .
Marah
Marah karena harga diri bangsa dilecehkan

Bangkit itu . .
Malu
Malu jadi benalu
Malu karena minta melulu

Bangkit itu . .
Tak ada
Tak ada kata menyerah
Tak ada kata putus asa

Bangkit itu . .
Aku
Untuk Indonesiaku

oleh Deddy Mizwar (100 tahun Harkitnas)

Minggu, 17 Mei 2009

Tujuanku.....

Tujuanku yg sebenarnya ke Kediri tuh utk mondok di Lirboyo sekaligus melanjutkan sekolah di SMA. Kenapa Lirboyo? Bukankah masih banyak pesantren lain yg dekat dengan rumahku di Klaten? Kenapa pula harus bersekolah di Kediri? Bukankah Klaten justru letaknya sangat strategis sebagai kota pendidikan, kan deket Jogja & Solo. Kalo alasan yg valid sih aku juga kurang tahu kenapa aku bisa sampai terdampar di Lirboyo. Tapi yg pasti tujuanku ke sini utk mendalami Ilmu Agama lebih lanjut guna meneruskan perjuangan dalam menegakkan Islam di lingkungan keluargaku. Jadi bukan utk berSMA di sini. Yo intinya mondok sambil sekolah, bukan sekolah sambil mondok. Moga2 aja itu bukan Cuma2 kata yg terucap tok. . .

Perlu diketahui Batur, desa tempat aku tinggal masih sangat kental tradisi Islamnya juga semangat gotong royong & persatuan sangat dijunjung tinggi di sana. Alhamdulillah sampai sekarang pun kondisi seperti itu masih bisa bertahan dengan baik. Lha agar tradisi & nilai2 agama Islam tidak luntur karena derasnya arus perkembangan zaman tentunya membutuhkan kader2 penerusnya. Maka dari itu salah satu -dari banyak- visiku tuh utk menjadi kader penerus bagi masyarakat, minimal di desaku sendiri.

Tak terasa sudah 3 tahun aku menimba Ilmu si Kediri. Dan setelah kuteliti lebih lanjut ternyata apa yg kudapatkan dari sini tuh masih jauh dari standar. Bener! Aku merasa masih ada ruang kosong yg ingin diisi. Tapi aku gak tahu apa itu. Selulus dari SMA kemarin aku sempat bimbang, mau meneruskan kemanakah aku? Tetep mondok atau kuliah? Setelah melalui proses yg panjang dengan dorongan & pertimbangn pihak2 yg penting, aku memutuskan utk tetap di Kediri. Otomatis belum kuliah. Karena dari dulu aku ingin kuliah di Jogja. Kemudian timbul masalah lagi, mau ke madrasah Induk atau tetep di HY? aku kan sudah tamat madrasah Hy, otomatis masuk Tsanawi. Lha yg jadi pertanyaan tuh mau ke Tsanawi Induk atao HY. kalo di HY diusahakan harus bersekolah atau kuliah. Trus kalo di Induk harus bisa lulus ujian masuknya. Untuk bisa masuk ke Induk syaratnya adalah hafal nadzom Alfiyah 350 bait, bisa baca kitab kuning yg gak ada tanda bacanya sama sekali, & lulus tes tertulis. Aku sempet pesimis dengan kemampuanku. Dan ternyata itulah yg membuatku kalah sebelum bertanding. Aku menunda keberangkatanku ke Induk hingga tahun depan. Jadi utk tahun ini aku tetep di HY. Padahal harapan ortu & ustadzku aku harus bisa ke Induk. Tapi sayang negatif thinking tadi membuyarkan rencana beliau2. Makanya buat Kamu yg masih puanjang jalannya, apalagi masih SMA jangan sampai ada perasaan pesimis deh utk meneruskan jalan panjangmu. Rugi & bakal menyesal. Yg penting ”Rencanakan kerjamu & Kerjakan rencanamu”.

Karena masih di HY aku ingin memanfaatkan waktu luang utk ikutan kursus komputer di daerah Kediri. Di induk gak boleh ndobel. Para santri hanya dicekoki ilmu agama tok. Dan finalnya aku positif masuk ke El Rahma. Ada beberapa alasan aku masuk ke sana. Pertama karena biayanya yg relatif lebih murah jika dibandingkan dg Lembaga Pendidikan lainnya & kedua karena kebetulan di sini juga ada temanku, Linda & Nunuk. Aku bener2 gak nyangka bisa kumpul lagi sama mereka.

Wah dari tadi cerita melulu, sampe keterangan madrasah Induknya ketinggalan...

PP Lirboyo mempunyai banyak pondok2 unit. walaupun podoknya banyak ternyata madrasahnya hanya satu, yaituMadrasah Hidayatul Mubtadiien (MHM). Tapi itu secara umum tok. Kalo lebih teliti lagi sebenarnya ada juga madrasah yg lain. Seperti contoh di HY. MHM lebih dikenal madrasah induk. Kurikulum yg digunakan berbeda sekali dengan sekolah2 pada umumnya. Di sini kamu gak akan menemukan pelajaran Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, Matematika, dkk. Di sini hanya fokus di ilmu agama, mulai dari Al Qur’an, Hadits, Aqidah, Akhlak, Fiqih, Nahwu, & Shorof.

Dari pelajaran2 tadi mungkin yg masih asing adalah Nahwu & Shorof. Maklum saja kalo belum pernah balajar bahasa Arab biasanya belum tahu (bukannya nyindir lho...). Nahwu & Shorof adl ilmu Gramatika Bahasa Arab atao lebih tepatnya Sastra Arab, ada juga yg menjulukinya Ilmu ’Alat (kamsudnya alat utk mendalami ilmu2 yg laen). Keduanya merupakan pasangan yg tak dapat dipisahkan. Kalo keterangan dari ustadz2 sih mereka tuh bagai Bapak & Ibu yg menghasilkan ilmu2 baru sebagai anak2 nya. Nahwu mempelajari kaidah2 bahasa Arab dalam segi lafadz per lafadz. Sedangkan Shorof mempelajari kaidah gramatika Arab dari segi huruf per hurufnya. Gampangane ngono. Pesantren2 di seluruh Indonesia hampir semuanya meletakkan Nahwu & Shorof sebagai salah satu pelajaran wajibnya. Makanya biasanya lulusan pesantren tuh di mata orang2 adalah seseorang yg pandai berbahasa Arab, piawai mentranslate lafadz2 Al Qur’an, sampe2 koyo2 santri tanpa bahsa Arab tuh rasanya hambar. Beberapa alasan kenapa bahasa Arab ditetapkan sebagai ilmu wajib tuh antara lain, Al Qur’an diturunkan berbahasa Arab, Nabi SAW sehari2nya berbahasa Arab, hingga kelak di surgapun bahasa yg digunakan adl bahasa Arab. Jadi Maklum kalo para kyai & ulama meletakkan bahasa Arab sebagai ilmu yg wajib dipelajari. Trus apakah kamu gak tertarik tuh mempelajari bahasa Al Qur’an, bahasa Nabi, & bahasa surga? Kalo bisa belajar dong. Masak kalah sama santri. Hehehe

MHM mempunyai jenjang2 sesuai dengan kecakapan santri. Dimulai dari Ibtidaiyyah utk mendalami Ilmu Nahwu Shorof tadi. Setelah itu masuk ke jenjang Tsanawiyyah utk mendalami lebih Ilmu Fiqh dengan berbekal kecakapan Nahwu Shorof tadi. Kan semua pelajaran di MHM memakai kitab2 yg berbahasa Arab. Dan terakhir adalah jenjang ’Aliyyah utk mendalami Ilmu Tauhid & Tasawuf. Jadi kurikulum yg disusun oleh para pendiri madrasah ini tidak cuma asal menyusun. Tentu saja kurikulum pendidikan di Indonesia juga seperti itu. Penuh pertimbangan dari berbagai orang2 penting dlm kancah pendidikan Indonesia.
Sekarang ini aku masih jenjang Tsanawiyyah itupun bukan di MHM. Tapi sebenarnya sama aja kok pelajarannya. Tadi aku sempat bilang kalo syarat masuk Tsanawi induk tuh hafal 350 bait Alfiyah. Tahu gak Alfiyah itu apa? Heheh. Alfiyah itu nama kitab pelajaran di bidang Nahwu & Shorof. Isinya berupa syair sebanyak 1000 bait. Dan itu pas tes akhir setelah khatam harus bisa hafal semua. Mangkanya aku sempet minder waktu diminta masuk ke Induk. Tapi untuk saat ini dengan langkah optimis tahun depan aku harus bisa masuk ke MHM utk memenuhi harapan kedua ortuku. Mohon doanya ya....

Minggu, 03 Mei 2009

Kullu nafsin dzaiqotul maut…
Kullu syaiin halikun illa wajhahu..
Potongan ayat yang disitir oleh Kang Din ketika mengisi acara inti pada jam’iyyah minggu lalu masih terngiang jelas. Tidak ada yang abadi kecuali Dia, sang pencipta. Semua ini adalah kepunyaanNya, maka jika sewaktu-waktu Allah berkehendak untuk mengambilnya kembali tentulah ikhlas yang harus kita tanamkan dalam hati. Harta benda, lingkungan kita, orang-orang tercinta termasuk nyawa kita sendiri.

HY berduka. Salah seorang santrinya sowan ke haribaan Ilahi. Kang Choiruddin, santri HY yang menetap di kamar Solo itu mendahului kita semua. Sore yang tenang waktu itu tiba-tiba diramaikan oleh kabar duka dari kantor. Aku yang baru bangun dari tidur siang masih belum nggagas berita paling hangat sore itu. Baru ketika mau mandi aku mendengarkan sekilas pembicaraan teman-teman di depan kamar. Kang Din kecelakaan, tangkap telingaku. Seketika kantukku hilang. Aku pun ikut nimbrung dan menyimak omongan cah-cah di teras. Ternyata Kang Din benar-benar kecelakaan, tertabrak bus. Tepatnya di daerah Ngawi ketika dalam perjalanan pulang naik sepeda motor. Dan seketika itu juga, katanya Kang Din langsung meninggal di tempat. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Raut mukaku berubah. Ya Allah baru kemarin rasanya aku nembung sorogan ke Kang Din, hari ini sudah Engkau ambil terlebih dahulu. Ya Allah tak ada yang dapat mengelak dari takdirMu.

Matahari cerah sore itu benar-benar terasa mendung dengan kabar duka dari kamar Solo. Tak ada topik obrolan yang lebih menarik daripada berita duka itu. Kang Din yang terkenal pendiam dan tawadlu’ di pondok HY berkali-kali dikenang kembali masa hidupnya dengan obrolan khas santri. Dulu aku termasuk dekat dengan almarhum, walaupun tidak seakrab teman-teman sebayanya. Kami sering sharing-sharing masalah kami masing-masing. Biasanya Kang Din tanya ini itu tentang perkembangan teknologi di luar, sedangkan aku banyak bertanya tentang hikmah-hikmah para ulama salaf dan persoalan agama yang terus menjadi kontroversi (bid’ah). Kang Din kuakui memang seseorang yang pendiam dan tawadlu’. Kata-katanya hemat dan mengena, jikapun gojlok (biasalah santri) tak banyak yang dilontarkan, selalu melaksanakan tugasnya sebagai sie wesel dengan tanggung jawab, dekat dengan teman-teman yang lebih kecil dan bertanggungjawab sebagai kakak terhadap adiknya di PPTQ. Dengan melihat kenyataan di atas tidaklah salah jika seluruh santri HY berduka. Kata Kiai kami, insya Allah Kang Din khusnul khotimah dan syahid karena meninggal masih dalam rangka menuntut ulumid din.

Semua kehilangan Kang Din. Akan tetapi hilang tetaplah hilang. Manusia tak dapat mengelak, menepis, menambah atau mengurangi takdir, takdir yang telah digariskan Allah dengan kesepakatan kita ketika berada di alam ruh sebelum lahir ke dunia dari rahim ibu kita. Bagaimanapun juga kematian tak perlu ditangisi berlebihan. Kematian merupakan cermin introspeksi kita. Bahwa, siapkah kita menjalaninya? Siapkah kita mempertanggungjawabkan amal kita? Siapkah kita menerima keputusan dari Allah kelak di Yaumul Hisab? Siapkah kita menghadap Ilahi Robbi yang Maha Abadi? Hanya kita sendiri dan Allah yang tahu.

Kematian Kang Din kemarin memberikan pelajaran berharga buatku. Betapa kematian tak pandang bulu. Malaikat Izroil tak mempunyai belas kasihan jika waktu tugasnya sudah tiba. Yang sepuh bisa meninggal, yang tua bisa meninggal, bahkan anak-anak dan bayipun bisa meninggal. Tinggal kitalah yang bisa menilai diri kita sendiri. Sudahkah siap menghadapi kematian di ujung mata? Seperti nasehat Kang Din ketika jam’iyyah minggu lalu, takziyah mempunyai hikmah yang besar. Ketika kita melihat seseorang dalam pembaringan tertutup kain kafan; ketika kita mengiring jenazah menuju pembaringan terakhir; ketika kita ikut atau melihat pemakaman; ketika kita menyaksikan bahwa sang mayit dikembalikan ke tempat asalnya, tanah; ketika gundukan tanah sudah tersusun di atas pembaringannya; itu merupakan isyarat nyata dari Allah. Bahwa kelak kita juga seperti itu. Siapkah kita menjalaninya?
Allahummaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu ya Robb. Selamat jalan Kang Din. Semoga kehidupan terakhirmu kemarin merupakan awal dari kebahagiaan abadimu di sana…

Batur, 2 Mei 2009