Suatu negara tidak akan bisa bangkit dan maju tanpa adanya pendidikan. Dalam mengupayakan pendidikan ada banyak cara yang ditempuh oleh pemerintah. Salah satunya mengadakan & membuat fasilitas pendidikan, baik berupa sekolah, perpustakaan, ataupun mengadakan penyuluhan-penyuluhan langsung kepada masyarakat. Dengan adanya fasilitas tersebut diharapkan dapat menjadikan masyarakat lebih berpikir maju. Sehingga pembangunan & kemajuan bangsa dapat diraih. Karena bagaimanapun juga pelaku Negara atau masyarakat (rakyat) merupakan faktor penting, bahkan lebih penting dari para pencetus sistem pendidikan di negara. Karena jika rakyat maju secara otomatis bangsa juga ikut berkembang.
Sayang tidak semua orang/masyarajkat berpikir betapa pentingnya pendidikan. Bahkan tak jarang ada yang mengatakan pendidikan (sekolah) hanya membuang uang & waktu saja. Toh setelah selesai tak ada perubahan berarti. Bagi yang pengangguran tetap pengangguran, yang kuli tetap kuli, yang pekerja kasar tetap pekerja kasar. Lebih baik mengasah ketrampilan & keahlian yang dimiliki agar bisa meneruskan perjuangan orang tua mencari nafkah. Benarkah anggapan seperti itu? Anggapan tersebut hanya akan muncul dari orang yang memandang sempit kehidupan dengan dipenuhi perasaan pesimis.
Masyarakat beranggapan demikian tentu saja tak sekedar bicara. Mereka melihat & merasakan realita bangsa ini. Bahwa begitu banyak lulusan sarjana yang masih bingung akan masa depannya. Suram. Lantas bagaimana tidak pesimis dengan adanya fakta menyedihkan ini? Siapa yang salah?
Sebenarnya tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Introspeksi ke pribadi masing2-masinglah yang diperlukan. Dengan bermuhasabah maka akan timbul kesadaran dengan sendirinya. Jika sudah seperti itu kita bisa merasakan kekurangan masing-masing aspek, masyarakat, & sistem pendidikan.
Kekurangan dalam pendidikan formal
Pendidikan di Indonesia ada 2 macam, formal dan nonformal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang mengikuti sistem & aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Lembaga pemerintah membentuk depdiknas & depdikbud sebagai pengatur sistem pendidikan formal tersebut. Dimulai dari yang terendah, SD hingga perguruan tinggi mengikuti sistem & kurikulum yang ditetapkan kedua departemen tersebut. Dalam membentuk sistem & kurikulum Indonesia banyak mengaca pada negara-negara maju. Amerika, Belanda, Jepang, Inggris dijadikan pembanding sistem pendidikan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena Indonesia merupakan Negara yang masih berkembang. Pantas jika ingin meniru negara-negara lain yang lebih maju. Tak terkecuali pendidikan. Negara-negara maju begitu mengutamakan sains, IPTEK, & seni sebagai faktor utama kemajuan. Disadari atau tidak dampak terlalu mendahulukan ketiga aspek di atas dapat memudarkan faktor terpenting dalam dunia pendidikan, hati (tata karma).
Hati bisa diidentikkan dengan perasaan. Di dalamnya terdapat banyak hal agar hati dapat mencapai tujuannya 100 %. Sebagai manusia yang diberikan nafsu oleh Allah, perasaan (hati) merupakan pengendalinya. Nafsu identik dengan hal-hal yang dapat berdampak negatif bagi kita. Karenanya Allah menciptakan perasaan yang berisikan hal-hal positif dariNya untuk mengekang nafsu. Diantara yang dapat menjadikan hati mampu mengendalikan nafsu adalah agama & akhlak. Facktor penting inilah yang menjadi kekurangan dalam pendidikan kita. Apa gunanya ilmuwan jika tak punya akhlak? Apa jadinya seniman yang buta akan agama? Apa jadinya pejabat yang tak berakhlak? Maka dari itu seharusnya pendidikan yang lebih diutamakan pertama kali adalah pendidikan hati, agama, & akhlak.
Pendidikan agama di masyarakat
Pendidikan agama seharusnya merupakan pendidikan pertama yang diterima seorang anak didik. Di sini tidak membatasi umur berapapun. Bahkan sejak kecil kita minimal memang harus mulai tahu agama. Tak heran banyak orang-orang tua yang memberikan pendidikan agama sejak kecil, baik itu orang tua sendiri yang mengajarkan atau disekolahkan di TPA, TPQ, atau madrasah. Minimal seorang anak mengerti mana yang baik & buruk. Dengan menanamkan nilai-nilai agama sejak dini kepada anak menjadikan anak akan selalu berpikir sesuai hati nurani sebelum bertindak. Baik atau burukkah yang dilakukannya? Kebiasaan menuruti hati nurani tersebut akan selalu lestari jika benih-benih agama yang telah ditanamkan di hatinya selalu dirawat dan dipupuk. Karenanya pendidikan agama bukan sebatas TPA saja. Para remaja & orang-orang tua pun juga selalu membutuhkan siraman rohani agar perilakunya sesuai dengan rel yang ditetapkanNya.
Akan tetapi ternyata yang terjadi di masyarakat justru sebaliknya. Pendidkan agama hanya diajarkan pada waktu kecil. Jika sudah besar mereka melupakan agama & mulai menekuni ilmu-ilmu baru. Sains, teknologi, sosial, ekonomi, matematika dll. Siraman rohani hanya ditanamkan ketika TPA, setelah SMA hingga perguruan tinggi siraman duniawilah yang diutamakan. Maka jangan heran jika banyak seklai orang pintar, cerdik, pandai di negeri ini yang tak berakhlak & berhati nurani. Akibatnya Indonesia kehilangan identitasnya sebagai negeri gemah ripah loh jinawi yang begitu menjunjung tinggi sopan santun.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia
Agama islam memang bukan agama asli Indonesia. Islam masuk pertama kali sekitar abad pertengahan yang mana pada masa itu agama Hindu & Budha yang mendominasi wilayah Indonesia. Jadi Islam merupakan agama baru bagi Indonesia dulu. Akan tetapi agama inilah yang memberikan pencerahan, kedamaian, & keteraturan bagi masyarakat Indonesia hingga kini. Tak lain adalah karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya serta tak lepas dari peran para penyebar islam di tanah air.
Dalam menyebarkan agam islam para walisongo menggunakan metode dakwah dengan langsung terjun ke masyarakat & mendirikan lembaga pendidikan. Metode pendidikan yang digunakan para walisongo merupakan hasil akulturasi budaya timur tengah (asal walisongo) dengan Indonesia. Metode tersebut terbukti sangat cocok untuk diterapkan di Indonesia. Karenanya hingga kinipun masih tetap lestari buah pikiran para wali ini.
Salah satu lembaga pendidikan yang tetap eksis menggunakan metode walisongo adalah pesantren, khususnya pesantren salaf. Ciri khasnya antara lain mengambil rujukan dari kita-kitab para ulama salaf, menggunakan aksara pegon buah karya Sunan Ampel, selalu menerapkan sikap tawadhu’ & qona’ah, & ta’dhim kepada guru. Sebenarnya pelajaran paling penting yang diajarkan di pesantren adalah masalah aqidah & akhlak. Kedua aspek ini tidak banyak membutuhkan teori, karena metode prakteklah yang harus digunakan. Dalam menerima santri seorang kiai lebih memperhatikan akhlaqul karimah santri daripada kecerdasan otak. Tak jarang di mata masyarakat pesantren merupakan wadah pembentuk akhlak. Bahkan bisa dikatakan sebagai tempat rehabilitasi bagi santri-santri yang tergolong nakal. Hingga kini mata pelajaran akhlaklah yang menjadi ciri khas pesantren. Hal ini sejalan dengan budaya Indonesia yang menjunjung tinggi sopan santun.
Globalisasi Pesantren
Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan dengan perkembangan teknologi adalah berbanding lurus. Pendidikan akan ikut berkembang jika sebuah bangsa maju. Begitu pula pendidikan pesantren. Di era teknologi ini pesantren mulai membenahi kesan udiknya dengan mengambil hal-hal positif dari globalisasi. Kini banyak ditemui berbagai pesantren yang mulai memasukkan teknologi dalam sistem pendidikannya. Tak jarang pula ada pesantren yang menggunakan kurikulum internasional dalam pendidikannya. Disadari atau tidak lama kelamaan tradisi pesantren mulai terkikis.
Banyak pesantren yang lebih mengdepankan keilmuan duniawi. Kajian kitab kuning & tradisi ulama salaf dijadikan sambilan. Negara-negara barat dijadikan rujukan. Lantas bagaimana nasib pendidikan pesantren rintisan walisngo?
Peran Pesantren (Salaf)
Melihat kenyataan bahwa mulai tergerusnya nilai-nilai pesantren maka seyogyanya kita sebagai warga pesantren melakuakan pelestarian kembali. Agar identitas pesantren sesungguhnya tidak hilang ditelan zaman. Syukurlah hingga kini masih ada pesantren yang tetap memegang teguh sistem pendidikannya dengan tidak mencampuradukkan sistem pesantren dengan kurikulum pemerintah. Pesantren mengambil masukan yang bias berdampak positif kini dan nanti.
Sebagai santri, kitalah penyambung mata rantai tradisi ini agar tidak punah. Kita seharusnya tidak minder & malu sebagai santri. Yang kadang dicap udik, dibilang kolot, disebut tak berpendidikan. Biarlah anggapan masyarakat tentang santri. Memang sudah menjadi ciri khas bahwa sikap tawadhu'lah yang selalu menonjol dari santri. Yang mana dibalik itu semua tersimpan cahaya agama & lautan ilmu yang berguna untuk menyeimbangkan kebobrokan zaman.
Mari lestarikan kembali nilai-nilai pesantren.
Lirboyo, 26 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar