Sabtu, 09 Januari 2010

Gus Dur di Mataku

GUS DUR DI MATAKU
Mungkin satu-satunya santri Indonesia yang sukses hingga pernah menjadi orang nomor wahid di Indonesia adalah KH. Abdurrahman Wahid. Tengok saja sejarah para ulama dahulu. Apakah ada yang sampai menjadi pemimpin nomor satu di negara? Rasanya tidak ada (atau aku yang belum tahu?). Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Raden Patah, Joko Tingkir mungkin juga seorang pemimpin. Akan tetapi Gus Dur beda. Beliau tak hanya menjadi pemimpin, tapi juga seorang revolusioner. Jadi jika dibandingkan dengan tokoh-okoh di atas masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Apalagi Gus Dur menjabat sebagai pemimpin ketika bangsa Indonesia sudah berbentuk republik.
Di mataku Gus Dur adalah sosok kontroversial sekaligus panutan. Semasa menjabat menjadi presiden aku kurang begitu tahu bagaiman gaya & sikap beliau dalam memimpin. Dari sumber-sumber yang ada menyebutkan bahwa pemerintahan periode Gus Dur adalah pemerintahan yang sangat terbuka dengan rakyat. Setelah 32 tahun Indonesia yang republik menganut kepemimpinan sentralistik dan otoriter, Gus Dur dengan gaya khasnya membanting stir menjadikannya sistem demokrasi. Tentu saja ini merupakan terobosan bagi Indonesia dan jasa terbesar bagi Gus Dur. Selama memimpin suasana terkesan begitu cair, tidak kaku seperti selama pak Harto menjadi ‘raja’. Tak jarang guyonan-guyonan terlontar setiap Gus Dur berpidato. Aku hanya mengetahuinya sepotong-sepotong, baik itu dari cuplikan teve, kutipan berita atau potongan tulisan mengenai Gus Dur. Maklum kala itu aku masih MI, mana sempat mikir begituan?
Aku hanya tahu sikap-sikap kontroversial Gus Dur justru setelah beliau lengser dari kursi kepresidenan. Mulai dari pembelaan Inul, Dorce, Ahmadiyah, Syi’ah, RUU APP, etnis Tionghoa dll. Semua itu aku masih ingat. Yang masih teringat jelas adalah saat kasus Inul yang digugat oleh bang Rhoma karena telah menjadikan dangdut sebagai ajang eksploitasi tubuh. Dengan tegas Gus Dur beserta istri membela Inul yang ‘sendirian’. Pada kasus Ahmadiyah juga demikian. Bahkan ketika Gus Dur mendukung massa anti-RUU APP para kiai di Jatim sampai kress dengan beliau. Dan yang paling tertoreh dalam sejarah adalah penghapusan kesan buruk pada etnis Tionghoa. Hingga Konghuchu dapat menjadi agama yang sah di Indonesia seperti halnya agama-agama lain di sini. Aku sendiri kadang bingung dengan sikap & keputusan beliau. Mau dibantah kok ya kiai? Mau setuju kok ya benar-benar “terlihat’ salah?
Akan tetapi kekontrasan sikap beliau inilah yang menjadikan beliau dicintai rakyatnya. Karena Gus Dur selalu membela kaum minoritas, pinggiran, tertinggal & terbuang. Bagaimanpun bentuknya Gus Dur tak segan-segan melawan arus mayoritas, jika menurut pandangan beliau kaum minoritas memang perlu dibela. Apakah kaum minoritas tersebut jelas-jelas tak sesuai dengan agama tetap Gus Dur bela. Karenanya beliau selalu dicintai kaum minoritas ketika membelanya dan disegani kaum mayoritas ketika sudah terlihat dampak dari sikapnya tersebut. Tak heran semua lapisan masyarakat nasional maupun internasional sangat berduka cita atas kepergian Sang Pluralis.
Mungkin sikap & pandangan beliau yang terlampau luas ini karena latar belakang pendidikannya. Walau Gus Dur lahir & dibesarkan di lingkungan pesantren orangtuanya memberi kesempatan seluas-luasnya untuk menuntut berbagai macam disiplin ilmu. Tak hanya berkutat pada berjilid-jilid kitab kuning tapi juga menambah wawasan dari buku-buku putih dari dalam maupun luar negeri. Bahkan konon dulu ketika mondok di Tegalrejo Gus Dur sering bolos ngaji demi memuaskan minat bacanya ke perpustakaan atau toko buku. Mbeling memang, akan tetapi dapat kita saksikan sendiri hasilnya.
Gus Dur yang santri tak hanya melihat dunia dari kacamata agama & pesantren, akan tetapi dapat melihat dari berbagai disiplin ilmu. Gus Dur yang santri tak berpandangan sempit yang menjadikan diri terkungkung dalam fanatisme. Gus Dur yang santri menjadi sosok demokratis yang sangat menghargai perbedaan yang sudah menjadi keniscayaan sunnatullah. Tak berlebihan jika pak SBY hingga memberikan gelar Bapak Pluralisme & Multikulturalisme kepada almarhum.
Di luar itu semua ada satu hal dari Gus Dur yang kuanggap istimewa. Hingga menjadi pelecut semangat dalam kehidupanku sekarang. Bahwa KH. Abdurrahman Wahid adalah santri nomor wahid di mataku, karena berhasil membuktikan bahwa tidak selamanya pesantren menjadi orang pinggiran. Bahkan dapat menjadi orang nomor wahid di negeri Indonesia ini. Jika dipikir secara rasional apakah bisa seorang yang tak punya ijazah formal kecuali hingga SMP, berbekal ilmu dari pesantren baik di Indonesia (Krapyak, Tegalrejo, & Tambakberas) maupun di luar Indonesia (Kairo & Baghdad) bisa diangkat menjadi presiden. Padahal jika melihat kenyataan sekarang, ‘hanya’ untuk menjadi PNS saja minimal harus berijazah S1. Belum jika mau mencalonkan diri menjadi bupati, gubernur atau presiden. Bukankah prestasi tersebut sangat mengharumkan nama pesantren di negeri ini? Karenanya sebagai insan pesantren jangan takut, malu atau minder untuk menggantungkan cita-cita setinggi-tingginya. Kalau Gus Dur yang santri saja bisa kenapa kita tidak?

Sudah satu minggu lebih Gus Dur meninggalkan kita, bangsa ini. Dengan meninggalnya ulama ini Allah telah mencabut satu dari sekian ribu ilmuNya. Telah hilang satu pegangan kita, yang berarti semakin melemahkan kita. Diperlukan pengganti pegangan dalam hidup kita ini. Akan tetapi adakah ulama yang bisa dijadikan pegangan sekaliber Gus Dur? Entahlah. Yang jelas kita tidak boleh begitu saja mencari pegangan tanpa melihat latar belakangnya. Karena jika kita salah memegang tambatan bisa jadi malah semakin jauh dari jalan Allah.
Gus Dur telah tiada. Akan tetapi jiwanya masih hidup & menghidupi hingga kini. Banyak pelajaran & hikmah yang dapat diambil dari seorang santri sekaliber Gus Dur. Bagaimanpun juga kita sebagai santri tak boleh berhenti meneruskan perjuangan beliau. Karena cita-cita yang beliau canangkan untuk bangsa, negara & agama ini belum sepenuhnya tercapai. Dan itulah yang menjadi PR bagi kita semua.

Selamat jalan Bapak pluralis & demokrasi. Semoga apa yang engkau perjuangakan dapat selalu lestari di bumi pertiwi & diridhoi Ilahi Robbi.

Lirboyo, 9 januari 2010  


Sabtu, 02 Januari 2010

Suka dan Duka Penutup 2009

Tahun ini 2 anggota keluarga besar Syafi'i mendapat kesempatan untuk ziarah ke Makkah al Mukarramah & Madinah al Munawwarah. Lik Rodhi & lik Karoh menunaikan rukun islam yang ke lima, Haji. Aku & Kafa yang sudah di pondok menyempatkan diri untuk mengikuti prosesi pemberangkatan hingga ke Lapangan Trikoyo Klaten. Setelah itu rombongan kloter 85 tersebut melaju ke donohudan untuk mempersiapkan penerbangan esok hari.

Selama beliau berdua di tanah suci aku kurang mengetahui bagaimana kabarnya. Yang kutahu hanya beberapa kali lik Rodhi berkomunikasi dengan pihak keluarga di rumah. Tentu saja aku tak tahu, aku berada di pondok selama beliau beribadah di tanah suci. Lik Rodhi hanya 1 kali menelpon Kafa ketika di pondok. Aku memaklumi. Karena jika terlalu sering menjalin komunikasi bisa saja malah mengganggu kekhusyukan ibadah di sana.

Tak terasa sudah 40 hari keluarga di rumah ditinggal oleh lik Rodhi & lik Karoh. Sudah saatnya rombongan kloter beliau pulang. Dulu Kafa sempat memberitahuku kalau beliau pulang kembali tanah air akhir Desember, tepatnya tanggal 30. sehari sebelum hari itu kami yang masih di Lirboyo menyempatkan diri untuk pulang guna menjemput kedatangan beliau di Donohudan. Aku, Inun, Kafa & Fatah pulang hari Rabu.

Malam Kamis lik Rodhi menelpon ke rumah. Bahwa beliau sudah mulai naik pesawat & akan landing. Jam menunjukkan angka 8 malam WIB. Dan akan mendarat sampai di bandara Adi Sumarmo esok pagi sekitar pukul 7. Saat itu Inun juga memberitahu kalau ada berita duka mengenai Gus Dur. Tentu saja aku kaget & belum percaya. Akan tetapi begitu melihat siaran berita di teve aku baru menyadari jika itu bukan hanya kabar burung. Seorang tokoh besar, bapak bangsa & NU telah meninggal dunia. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.

Bapak juga tampak tak percaya ketika kuberitahu. Dari layar kaca tampak suasana RSCM tempat Gus Dur menghembuskan nafas terakhir. Malam itu mendung duka menyelimuti kami semua. Padahal besok adalah hari kedatangan lik rodhi & llik karoh setelah 40 hari berhaji. Akankah mendung duka ini juga akan menyelimuti suasana suka cita esok hari?

Seluruh stasiun teve menayangkan siaran langsung terkait kabar duka ini. Dari sekian stasiun teve MetroTV & TVOne yang meliput semua kondisi tempat almarhum menghembuskan nafas terakhir di Jakarta dan tempat terakhir bersemayamnya di Jombang. Malam itu tayangan prosesi pengurusan almarhum menjadi tontonan kami. Bapak baru ikut menyaksikan siarannya setelah selasai dari ngaji di Ngeseng. Rencananya almarhum akan disemayamkan di Tebuireng, Jombang di samping kakek dan abahnya, KH Hasyim Asy'ari & KH Wahid Hasyim. Jenazah akan diberangkatkan dengan pesawat dari Jakarta esok paginya. Dan nantinya prosesi pemakaman akan menggunakan upacara kenegaraan. Tentu saja Gus Dur kan mantan presiden. bapak sebenarnya ingin ikut melayat ke Jombang. Tapi karena besok ada acara yang sangat penting & tak bisa ditunda lagi, bapak memilih mendahulukan urusan keluarga. Toh tak ada salahnya mendoakan beliau dari sini. Kalaupun mau mengikuti prosesi pemakaman jenazah seluruh stasiun teve akan meliputnya.

===

Kami berangkat dari rumah pagi menuju ke asrama haji di Donohudan. Sampai di sana pakde, bude, mbak, mas & para keponakan sudah berkumpul di luar area asrama. Lama juga kami menunggu di sini. Pukul setengah sembilan 8 bus bandara memasuki area Donohudan. Para penjemput memang tidak diperbolehkan masuk ke dalam. Tentu saja agar prosesi pemulangan dapat berjalan lancar. Kami di luar hanya bisa melihat para rombongan haji yang dibawa bus.

Ternyata tak hanya pengoperan ke bus dari kabupaten saja yang menjadi agenda acara di dalam. Masih ada upacara penutupan yang lagi-lagi memakan waktu cukup lama. Terpaksa kami menunggu lagi. Rombongan pakde Syakur memilih untuk menunggu di Dlanggu, transit para jamaah sebelum menuju ke rumah masing-masing. Keluargaku & rombongan pakde Muhadi yang masih tersisa di sni. Walau upacara penutupan belum selesai benar ternyata sudah banyak jamaah yang meninggalkan tempat dengan dijemput anggota keluarganya sendiri, tidak ikut rombongan bus dari kabupaten. Melihat hal itu kami juga mau langsung membawa lik Rodhi & lik Karoh dengan mobil sendiri. Alhamdulillah tak lama kemudian lik Rodhi muncul dengan pak Panji. Pertemuan singkat itu memutuskan agar lik Rodhi & lik Karoh langsug naik mobil dari sini saja. Tak lama rombongan yang kami tunggu datang dengan membawa banyak bawaan. Lik rodhi, lik Karoh, Kafa, Fia, An'im, & pak Panji. Segera setelah melepas kerinduan sebentar rombongan kami meninggalkan Donohudan. Mobil pakde Muhadi ditempati keluarga lik Rodhi & di mobil kami ketambahan bude Kis. Akhirnya semua berjalan lancar, walau tak mengikuti upara penutupan hingga selesai.

Keluarga di Jeblogan yang tidak ikut menjemput sudah siap menyambut kedatangan beliau berdua. Acara penyambutan dilangsungkan di masjid. Dari masjid kemudian lik Rodhi & lik Karoh bersama rombongan lain berjalan kaki menuju rumah dengan diiringi tabuhan hadroh. Lik Rodhi diminta berdoa sesampai di depan pintu rumah. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa doa orang yang berhaji mustajab. Lik Rodhi mendoakan kita semua yang ada di sini agar juga mendapat panggilan ke tanah suci. Amiin. Istajib du'aana ya Robb. Setelah itu satu per satu tamu datang dan pergi hingga dzuhur menjelang. Alhamdulillah anggota keluarga kami sudah kembali pulang setelah 40 hari bertamu di Baitullah tanpa kekurangan suatu apa pun.

===

Sepulang dari acara penyambutan haji di Blogang kami sekeluarga menyimak prosesi pemakaman Gus Dur di Tebuireng lewat televisi. Lautan manusia membanjiri area Tebuireng. Mereka semua ingin menjadi saksi kepergian sang guru & bapak bangsa. Santri, masyarakat, pejabat, kiai, aparat hingga para pemuka dari berbagai agama turut hadir & berduka cita atas kepergian almarhum. Sejak pagi hingga siang itu para pelayat dari seluruh pelosok hadir. Menunggu hingga pemakaman selesai.

Ba'da Dzuhur jenazah Gus Dur tiba dari bandara Juanda, Surabaya setelah terbang dari Halim Perdana Kusumah, Jakarta. Iring-iringan belasan mobil memasuki area Tebuireng. Jenazah terlebih dahulu disemayamkan di masjid Ulil Albab yang berada di luar komplek pesantren untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin menyolati & berdoa untuk almarhum. Kurang lebih setengah jam kemudian jenazah dipindah ke pendopo area pemakaman di dalam pesantren. Tak semua orang bisa masuk ke dalam karena penjagaan yang behitu ketat langsung oleh aparat TNI. Di dalam kembali dipersilakan bagi penta'ziyah yang berada di dalam untuk menyolati & berdoa di hadapan almarhum. Rata-rata para kiai & santri yang ada di dalam ditambah para pejabat & menteri.

Prosesi upacara kenegaraan memang akan langsung dipimpin oleh Presiden RI. Karenanya masih menunggu hingga satu jam lamanya menunggu para orang-orang yes ngumpul terlebih dahulu. Pukul setengah dua semua sudah siap. Bapak SBY & rombongan baru saja tiba. Upacara dimulai dengan dipimpin oleh jenderal dari TNI. Sebagai inspektur adalah bapak SBY sendiri. Dari berita tadi malam beliau akan memberikan penghormatan terakhir yang terbaik untuk almarhum. Peserta upacara juga dari TNI, baik AD, AL maupun AU. Juga tentunya semua yang hadir baik di dalam pesantren maupun di luar.

Sebagai pembuka adalah pembacaan riwayat hidup almarhum. Dari situ aku dapat mengambil kesimpulan bahwa Gus Dur adalah satu-satunya orang yang berhasil membuktikan bahwa pesantren memang bisa. Kalau perlu bisa dalam segala hal. Gus Dur tidak mengenyam pendidikan formal di indonesia. Almarhum 'hanya' mondok di Tegalrejo, Tambakberas, & Al azhar, Kairo. Tak ada embel-embel sarjana dari universitas manapun di Indonesia. Walau begitu berbagai penghargaan, pangkat, & bintang juga tersemat dalam diri almarhum. Kebanyakan dari luar negeri. Itu semua membuktikan bahwa kita sebagai santri tak boleh mempunyai rasa minder di hadapan siapapun, jika perlu di hadapan presiden. Karena Gus Dur adalah (baru) satu-satunya santri yang menjadi presiden di indonesia.

Acara dilanjutkan dengan penghormatan kepada almarhum sebelum akhirnya dikebumikan. Petugas pemakaman adalah dari aparat & kiai yang ada di sana. Hujan air mata & bunga mewarnai pemakaman ini. Lagu gugur bungan menambah suasana semakin menyentuh. Aku sangat terharu. Akan tetapi tak sampai meneteskan air mata. Setelah jenazah terkubur pak SBY sebagai wakil negara & Yeni Wahid sebagai wakil keluarga mengubur secara simbolik dengan mencangkul tanah & dimasukkan ke liang lahat. Baru kemudian penguburan dilanjutkan hingga rata. Sebagai penutup Bapak Menteri Agama, Surya Dharma Ali & Gus Mus memimpin doa. Setelah semua rangkaian acara selesai pemipmin upacara membubarkan upacara kenegaraan ini.

Kini Gus Dur telah tiada. Bapak & Guru bangsa, bapak pluralisme, bapak multikulturalisme, kiai yang tidak hanya bagi umat islam. Menyisakan mendung duka & harapan beliau yang menjadi amanat kiat semua sebagai warga negara & islam, khususnya NU. Pesan terakhir beliau kepada para santri untuk menjaga sikap pluralisme & melindungi kaum minoritas menjadi tanggung jawab kita bersama. Itu membuktikan betapa besar perhatian beliau terhadap kesatuan negara & agama kita. Semoga amal perbuatan, perjuangan & pengabdian almarhum diterima di sisiNya dan mendapat balasan yang setimpal. Allahummaghfir lahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu. Selamat jalan Gus, jasamu kan terus kami kenang & perjuangkan selalu.

Batur, 2 Januari 2010

Rebana di Oi

Aku tak menyangka bahwa pesantren salaf seperti Lirboyo ini sampai kedatangan tamu sekelas Iwan Fals & organisasinya, Oi. Bang Iwan dari dulu dikenal sebagai seniman bersuara fals dengan berbagai lagu & sikapnya yang kritis membela kaum bawah.

Kedatangan Oi ke Lirboyo karena ada acara yang diadakan Oi sendiri, selain juga sowan ke mbah Kiai sepuh & masyayih. Aula Muktamar terpilih sebagai tempat pelaksanaan Munas Oi IV ini. Dengan tema Berpikir, Berkata & Berntindak untuk Oi dan Indonesia Raya munas ini dapat mengumpulkan perwakilan-perwakilan Oi dari seluruh wilayah Indonesia.

Aku kurang tahu kenapa Kediri yang menjadi tuan rumah. Awalnya aku hanya cuek, paling juga konser biasa. Ternyata tidak. Kang Tohir, kang Daris & Zaki kebetulan ikutan rembugan sehari sebelum hari H bersama panitia. Mereka mungkin dapat masuk kepanitiaan ini karena ikut pak Muttaqin yang juga aktivis Oi. Salah satu keputusannyalah yang membuatku kaget. Kang Tohir menawarkan rebana Kamar Solo untuk tampil saat penyambutan Iwan Fals. Hee, gak salah tuh? Aku hampir gak percaya. Bukankah kontras banget? Oi yang ‘apa adanya’ (sak karepe dewe) mau digabung dengan rebana. Aduh gak habis pikir deh.

Awalnya aku pesimis bisa ikut. Kalau teman-teman lain mungkin bisa saja ikut. Aku terlalu mikir macem-macem. Apa gak malu ‘ngontras’ di antara komunitas yang berbeda? Aku yang notabene masih santri baru MHM masak mau langsung ndablek gini? Terus bagaimana nanti komentar masyayikh? aku sudah gak yakin bisa ikutan tampil besok.

Sabtu paginya ada latihan dadakan. Ternyata kang Tohir tidak bercanda. Rebana Hadiningrat positif tampil dalam pembukaan munas ini. Kulihat teman-teman saat latihan ternyata kekurangan personel. Kang Juweni makaryo, Kafa & Fatah sekolah. Yang tersisa hanya Syueb, Daris, Tohir, Ulin & Lik Birin ditambah Ebi & kang Ihsan. Keadaan tersebut menuntutku untuk ikut tampil nantinya. Ternyata memang sulit banget melepaskan begitu saja bidang yang sudah aku terjuni. Apa boleh buat nanti musyawaroh izin. Kami hanya latihan sebentar.

Pukul setengah 11 tim rebana Hadiningrat berangkat ke aula Muktamar. Ada 8 personel yang diberangkatkan, semuanya ngontel. Aku & lik Bir ditugasi sebagai vokal.

Aura kontras sangat terasa ketika kami masuk gerbang aula. Orang-orang berkaos oblong (mayoritas hitam), celana jins & kadang badan kurang terawat banyak berlalulalang. Sedangkan kami berbaju koko, bersarung & berkopyah. Aku merasa asing di sini. Seakan sekat di Lirboyo menjadi kelihatan. Di dalam aula para Oi berkumpul pating sliwer di luarnya para santri asyik bermusyawarah.

Aku baru kali ini masuk ke belakang panggung aula. Terdapat beberapa ruangan, biasanya untuk sekretariat. Mulai dari persiapan sebelum tampil, ruang tamu dll. Dan setelah kupikir lebih lanjut ini adalah kali pertama aku tampil di aula Muktamar. Wah, gak nyangka banget kan? Penampilan perdana di aula malah pada saat acara dari non-pesanten (bukan acara-acara islam). Dari pintu pojok ruangan ini kami bisa melihat suasana acara. Bahkan aku bisa melihat jelas bang Iwan saat ngisi sambutan. Kapan lagi mendpat kesempatan langka seperti ini?

Setelah beberapa sambutan mengisi acara, giliran kami unjuk gigi. Kami lewat tangga depan ketika kami dipanggil. Dari atas panggung semua terlihat jelas. Wong yes-yes duduk di deretan depan. Diantaranya pak Syamsul ( walikota kediri), bang Iwan, pak Taqin, cak Khan, dll. Kini semakin terjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengganjalku. Ternyata dzuriyah HY yang menjadi penyambung pihak pesantren dengan Oi. Pantas saja tempat yang terpilih Lirboyo & rebana HY yang diminta mengisi. HY memang sip. Tidak hanya berkutat dengan dunia kitab & santri, tapi juga dapat berkoneksi dengan dunia luar. Salut banget dengan pesantrenku ini.

Kami hanya membawakan 2 lagu, Assalamu’alaik & Dhoharo Din al Muayyad. Syukurlah semua berjalan lancar. Bahkan bisa dikatakan aku tidak merasa demam panggung. Selesai tampil kami turun panggung dengan tampa membawa alat. Karena akan digunakan sebagai pembuka munas ini. Biasanya kan lewat simbolis pemotongan pita atau pemukulan gong. Nah, kali ini dengan memukul alat perkusi rebana.

Pembukaan munas dilakukan oleh orang-orang yes, bang Iwan, pak Wali dan juga panitia-panitia senior. Mereka mengambil tabuhan & memukul sekenanya. Suara yang terdengar benar-benar berbeda dengan yang kami bawakan tadi, semrawut. Hehehe hadirin yang melihat pembukaan ini tak ada yang menahan tawanya.
Pada akhir acara kami berkesampatan foto bareng Iwan Fals. Wah, bukankah langka banget? Padahal belum tentu para Oi semua yang hadir di sini bisa berfoto dengan pentolannya, apalagi secara terhormat seperti ini. Bener-bener deh rebana Hadiningrat memang ningrat. Pokoknya ganjalan-ganjalan sebelum acara tadi terjawab sudah.
Puas….

Lirboyo, 5 November 2009