Selasa, 20 Juli 2010

Di Balik Satu Abad Lirboyo

dari gubug kecil peninggalan sang guru
mbah Manab memulai perjalanan ini
dengan hanya berbekal ikhlas & tawakal
mbah Manab menempa mental santri-santrinya
dengan bermodal 'nggih', manut pada guru
mbah Manab berhasil membuktikan

Inilah Pesantren!
Inilah Lirboyo!

sekian ribu tapak tilas tergores
sekian ribu kisah & riwayat
menjadi saksi bisu perjalanannya
hingga kini
100 tahun sudah rintisan mbah Manab berdiri kokoh
Satu Abad sudah Lirboyo berkiprah

...

panflet, spanduk, baliho
hingga kabar mulut kr mulut
menjadi media yang menyebarkan usianya
mendadak Lirboyo menjadi buah bibir yang tak habis untuk selalu dibicarakan
mbah Manab, mbah Marzuki, mbah Mahrus, gus Makshum
Alfiyah, fathul Qorib, hingga senggot
menjadi topik menarik
tiap cangkrukan di mana-mana

seminar demi seminar mewarnai aktivitas
bakti sosial semakin mempererat hubungan Lirboyo dengan masyarakat sekitar
musabaqoh-musabaqih membuat suasana semakin meriah
lontaran jawaban Mubahhits dalam bahtsul masail
membuat penontonnya semakin berdecak kagum
kemeriahan bazar juga tak kalah menjadi perhatian
souvenir-souvenir berjejer menghiasi etalase toko-toko sepanjang jalan
logo-logo Satu Abad hasil coretan kreatif tangan santri membuat tembok semakin berwarna
semuanya demi memeriahkan
Peringatan Satu Abad Lirboyo

dan puncaknya
sekitar 30.000 jama'ah berkumpul bersama 100 kiai & habaib
untuk beristighotsah di area Al muktamar
sekitar 10.000 alumni berdatangan demi bernostalgia bersama
mengikuti MUNAS HIMASAL
berpartisipasi dalam Silaturahim bersama Presiden
di pondok tercinta
tokoh-tokoh nasional hasil gemblengan Lirboyo
membakar kembali himmah sebagai santri dengan gojlokannya
dalam acara Reuni Akbar

di balik itu semua
aku sangat bersyukur bisa menjadi bagian kecil
dari besarnya Peringatan Satu Abad Lirboyo ini

Lirboyo, 22 Juli 2010

Jumat, 16 Juli 2010

Trio Pembakar Semangat

Selama satu tahun ini dengan perpindahan kwartal hingga kini yang terakhir aku mulai tahu karakter masing-masing mustahiqku. Sistem pengajaran di sini tiap tiga bulan mustahiq yang akan mengajar, membimbing & memotivasi kami berganti sesuai dengan mustahiq kelas lain yang masih satu bagian. Bagian B diajar oleh Bpk. Muqorrobin Afandi, Bpk. Zamroji Assunan, dan Bpk. Mudaimulloh Azza. Yang bikin bangga ketiga-tiganya adalah termasuk dewan perumus LBM induk. Sayangnya selama ini aku baru bisa membanggakan saja, belum meneladani sepenuhnya.
Dulu aku masuk kelas pertaman di kelas pak Bin. Alasan waktu itu cuma satu, ada temanku, Asnawi. Aku tak mencoba saran teman-teman untuk menjajal satu per satu kelas hingga menemukan yang cocok. Pikirku toh pelajarannya sama. Padahal oleh panitia ujian masuk aku seharusnya masuk di bagian B3, pak Daim. Aku memang belum mengenal musathiq kelas 1 Tsn. Makanya kelas B1 merupakan pilihan pertama sekaligus terakhir setelah ujian masuk.
Jika disimak pak Bin dalam mengajar pelajaran lebih banyak terpaku pada teks. Tapi tetap ada motivasi & wawasan lain yang disampaikan. Pak Bin memang bidangnya bukan berpidato hingga berbusa-busa, tapi lebih pada ngaji kitab dan telatennya. Asli beliau adalah satu-satunya mustahiq bagian B yang paling rajin, telaten, sregep, dan ‘sayang’ dengan anak didiknya. Bayangkan sudah ada di depan kelas 10 menit bahkan 5 menit setelah teng lalaran berbunyi. Karenanya aku sering kena takzir karena tak bisa mendahului pak Bin berangkat sekolah & musyawarah. Beliau juga paling telaten dalam membimbing & menjaga setoran hafalan teman-teman hingga muhafadhoh kemarin. Bahkan bagi teman-teman yang belum berpredikat jayyid dalam muhafadhoh maupun setoran masih dianggap mempunyai tanggungan pada beliau. Sedangkan mustahiq lain, jangankan setoran hingga muhafadhoh, setoran rutin mingguan saja mungkin agak santai. Oleh karena sikap pak Bin yang telaten ini pak Zam kadang gojlok pak Bin sangat keibuan dalam mentarbiyah anak didiknya. Walau begitu aku sangat bersyukur mendapat mustahiq seperti beliau. Karena dengan begitu tak ada kata santai & selalu merasa disemangati. Tak salah dulu aku ikut Asnawi di kelasnya.
Begitu masuk kwartal II, B1 mendapat giliran rolling pindah ke kelas B2 dengan mustahiq dari B3, pak Daim. Kesan pertama melihat pak Daim rasanya horror banget. Bagaimana tidak, secuil senyum saja jarang tersungging di wajah beliau. Dan ternyata bukan aku saja yang merasakan euforia ini. Karena sikapnya yang kelihatan selalu tegang ini tak banyak kasus membolos di kelas kami. Tak perlu tanya macem-macem, siapa yang tidak musyawarah, tidak lalaran dan tidak-tidak yang lain. Hanya itu. Selama menjadi rois Alfiyah di kwartal ini setoran hafalan pelajaran bisa dihitung. Tapi begitu ‘interogasi’ pak Daim keluar hanya segelintir yang berdiri. Ternyata ampuh juga sikap cuek seperti ini.
Bagiku sistem pengajaran pak Daim berkebalikan dengan pak Bin. Beliau lebih banyak berbicara secara kontekstual & berbagai macam masalah aktual di luar sana dengan tetap berpatokan dengan pelajaran yang diajarkan. Bisa saja ketika menerangkan Alfiyah atau I’rob penjelasannya nyasar hingga ke ranah perpolitikan negeri ini. Tapi dengan begini aku justru merasakan semangatku bertambah. Jangan terlalu terpaku pada teks. Selain itu pak Daim juga paling jago untuk membakar himmah kami sebagai santri Lirboyo untuk masa depan, tak malu dengan predikat santri & memotivasi kami agar bisa memadukan akademik (kuliah) dengan salaf (pesantren). walau beliau sendiri sebenarnya belum pernah mengenyam bangku kuliah, aku yakin kemampuannya bisa disandingkan dengan dosen-dosen di kampus. O iya ada satu lagi ciri khas pak Daim, untuk urusan musyawarah beliau nomor satu. Musyawarah kelas, pra FQ, Fathul Qorib hingga forum-forum Bahtsul masail selalu beliau tekankan pada kami. Dan puncaknya kemarin beliau masuk ANTV karena bahtsu yang membahas rebonding. Bangga deh punya mustahiq seperti pak Daim.
Mustahiq selanjutnya untuk bagian B1 adalah pak Zam dari B2. menurutku sistem pak Zam merupakan gabungan antara kedua mustahiq sebelumnya. Penjelasannya tak pernah jauh dari kitab kuning. Tak jarang aneka ayat al Qur’an, hadits sampai maqolah dari berbagai kitab beliau utarakan. Kama qila fi… dan penjelasan pak Zam juga selalu berhubungnan dengan tasawuf, pendidikan hati. Makanya lebih terkesan sebagai wa’idh, ‘seksi’ mau’idhoh hasanah.
Gaya khas dari pak Zam adalah gojlok. Kebanyakan gojlokan ditujukan bagi teman-teman yang ‘bermasalah’. Karena digunakan untuk menyadarkan orang gojlokan-gojlokan beliau selalu berbobot & berisi. Tidak sembarang gojlok seperti pada jam’iyyah-jam’iyyah pada umumnya. Tapi karena namanya gojlokan tetap saja terasa cair & tak jarang bikin ketawa. Namun tetap membekas di hati & membuat kita berpikir. Tak salah jika di antara ketiga mustahiq kami, pak Zamlah yang paling plek, akrab dengan murid-muridnya. Bahkan kadang sampai terjadi serang-serangan gojlokan. O iya ada satu hal lagi yang khas dari pak Zam, beliau tidak pernah duduk di kursi yang disediakan selama mengajar. Sebagai gantinya teman-teman biasanya sudah menyediakan sajadah lengkap dengan bantal di dekat meja. Mungkin prinsipnya seperti pak Fata, bahwa aku belum pantas menduduki kursi guruku.

Selasa, 13 Juli 2010

Persiapan dari 3 Guruku

Selama satu tahun pelajaran ini banyak wawasan baru dari MHM & segala aspeknya. Kini gambaran Lirboyo itu seperti apa juga semakin jelas. Sayang aku belum bisa memenuhnya. Kitab-kitab pelajaran kelas 1 Tsanawi sudah banyak yang khatam. Terhitung dari 9 kitab yang diajarkan hanya tinggal 1 yang belum khatam, Fathul Mu’in. Tadi malam giliran kitab Waroqot yang menyusul kitan-kitab lain yang sudah masuk lemari. Nah, momen khataman yang satu ini yang lain dari yang lain.
Tak bisaanya acara khataman kitab 3 kelas digabung menjadi 1. Hari ini memang pelajaran awal tsani kelasku Waroqot, pengantar ushul fiqh. Sengaja begitu ya itu tadi, khataman. Menjelang istirahat pak Bin menginformasikan kalau nanti khatamannya digabung dengan kelas sebelah. Pikirku mungkn seperti Bulugh kemarin yang dikhatamkan ketika gabung dengan kelas B2. Tapi ini tidak. Bayangkan siswa 3 kelas berkumpul dalam ruangan ukuran sekitar 8x9 m. Yang membedakan di kelas B2 yang menjadi saksi bisu lailatul ijtima’ bagian B ini formasinya ditata sedemikian sehingga didepan ada tempat khusus untuk 3 orang mustahiq kami. Entah siapa yang mempunyai inisiatif seperti ini. Yang jelas malam itu menjadi malam berkesan yang mengisi kembali tangki semangat kami yang hampir kosong karena suasana akhir tahun.
Dalam pelajaran tak bisaa ini juga ada MCnya. Lutfi dari kelas pak Daim yang mengatur jalannya acara yang isinya sesuai dengan bidang ketiga mustahiq kami yang berbeda-beda. Pak Bin sebegai qori’ kitab yang mengkhatamkan Waroqot, pak Daim sang motivator dari LBM mengaduk-aduk pikiran kami & merefill semangat dengan doktrin-doktrin khasnya. Dan terakhir pak Zam sebagai penyimpul sekaligus pembaca doa penutup.

Pada malam bersejarah bagi kami warga B itu masing-masing mustahiq memotivasi kami. Yang paling banyak memerikan masukan & tips sebagai bekal kami untuk melanjutkan perjalanan di MHM ini adalah pak Daim. Dengan gaya menggebbu-gebu seolah tak ada titik & koma, pak Daim terus mendoktrin kami. Aku rasakan ada semangat yang meletik di dada. Pak Zam & pak Bin juga begiu, membekali & memotivasi kami, tapi tak sederas motivasi pak Daim.
Pak Daim menyitir hasil muhafadhoh kelas I Tsn kemarin, bahwa untuk tahun ini ada kenaikan dalam peringkat mutawasith & rodi', juga penurunan dalam peringkat jayyid jika dibandingkan dengan kelas I Tsn tahun lalu. Artinya kualitas kelas 1 Tsn tahun ini menurun. Tak tanggung-tanggung hingga 8 %. Melihat kenyataan seperi ini siapa yang tahan untuk tinggal diam? Aku sendiri kadang bertanya kenapa banyak teman-teman yang tidak mencapai target nadhom, kenapa bisa sebegitu mudahnya menerima hasil mutawasith bahkan rodi'? menurut mustahiqku dari Ngawi ini penyebab pokok dari ini semua adalah (kurangnya) persiapan.
Banyak orang yang meremehkan hal sepele namun amat berharga ini. Bagaimana tidak, kebanyakan dari kita lebih senang mengerjakan sesuatu jika sudah mepet, dikejar deadline. Padahal dengan berbekal persiapan yang cukup tak usah banyak-banyak, apa yang kita hadapi akan terasa lebih ringan. Ujian, belajar, menulis, nglalar hingga bayar hutang kebanyakan lebih memilih waktu-waktu kritis ketika sudah mendekati hari H. entah kenapa itu semua kita nikmati sehingga menjadi karakter.
Aneka tips & masukan pak Daim kemukakan. Bagaimana mengoptimalkan waktu musyawarah, waktu sekolah, waktu belajar, hingga waktu mondok yang relatif terbatas. Bahwa madzhab Lirboyo yang berupa al fahmu ba'dal hifdhi lebih beliau tekankan untuk dibalik. Pahami terlebih dahulu. Hanya pahami. Setelah itu hafalkan. Baru setelahnya dalami & cari referensi-referensi yang mendukung. Usahakan selalu aktif dalam musyawarah. Karena kegiatan inlah yang membuat otak kita semakin tersasah, analisis lebih tajam & tanggapan makin kritis. Untuk bisa isytighol pada ini semua tidak boleh ada kegiatan lain yang mengganggunya, seperti menghafal nadhom & menulis pelajaran. Bukankah suatu fiil hanya bias mempunyai satu ma'mul? Jika dilihat mempunyai dua ma'mul maka salah satunya harus mentaqdir fiil lain. Sehinga satu fiil tetap bisa isytighol pada satu ma'mul saja. Nah, agar semua itu bisa terlaksana perlu adanya persiapan. Sekali lagi persiapan. Persiapan dalam menghafal nadhom agar tidak keteteran & menulis pelajaran agar bisa lebih leluasa belajar. Karenanya oleh pak Daim dalam liburan akhir tahun selama + 2,5 bulan ini diharapkan kami bisa melaksanakan persiapan-persiapan tersebut. Aku jadi teringat nasehat pak Fata dulu, isi liburan dengan nglalar & nulis. Ternyata ini manfaatnya.
Mengenai madzhab Lirboyo tadi tak selamanya pak Daim membaliknya. Beliau tetap menekankan kepada kami untuk tetap melaksanakannya, supaya karakter Lirboyo sesunggunya dapat kami peroleh. Dengan hafal terlebih dahulu maka kita lebih mudah untuk memahami. Jika dibandingkan dengan orang yang hafalannya selalu mepet dengan waktu setoran tapi tetap lancar masih lebih baik hafal dulu, punya persiapan hafalan. Karena yang lebih penting dari itu semua adalah tsubut yang dihasilkan setelah selesai setoran. Hafalan yang mempunyai persiapan lebih mempunyai bekas daripada yang mengafalkan mepet walau dengan kemampuan otak cemerlang.
Ada satu kata yang terus terngiang di kepalaku, sebanyak apa yang kau tanyakan sebanyak itu pula kau paham. Jika diruntut lebih lanjut ternyata kemampuanku selama ini belum ada apa-apanya. Aku cenderung menerima begitu saja materi yang diajarkan tanpa bersikap kritis yang menimbulkan aneka tanda tanya. Dalam musyawarah pun aku termasuk golongan yang pasif berbicara, walaupun cuma bertanya. Selanjutnya apakah aku bisa memenuhi amanat pak Daim ini? Semoga.
Setelah sekian puluh menit pak Daim menggebu-gebu membakar semangat kami, giliran pak Zam yang menyiramkan nilai-nilai tasawuf yang menyejukkan hati kami. Tak banyak yang beliau utarkan karena waktu juga sudah semakin malam. Apalagi lonceng pertanda jam sekolah usai, pukul 11 sedah berbunyi. Di antara yang beliau tekankan adalah masalah unggah-ungguh kita sebagai santri dengan guru. Beliau mengibaratkan guru sebagai dokter & murid sebagai pasien. Pasien harus selalu patuh pada dokter jika ingn sembuh dari penyakitnya. Jika hanya mematuhi perintah saja tidak mau, siap-siap saja menanggung penyakit yang semakin parah. Begitu halnya murid terhadap gurunya.
Sebagai acara penutup adalah doa oleh pak Zam & mushofahah kepada mustahiq. Malam itu benar-benar malam yang membakar & merefill semangat kami.
Lirboyo 2 Juli 2010