Senin, 23 Agustus 2010

Renungan Kemerdekaan

Berikut adalah sedikit ulasan Cak Nun ketika mengobarkan semangat juang Indonesia yang berhasil kutuangkan dalam tulisan. Acara bertajuk Renungan Kemerdekaan & Tabligh Ramadhan ini diselenggarakan pada malam perayaan kemerdekaan RI ke 65 di Balai Kota Kediri. Walau sedikit kuharap dapat menjadi wacana dan bahan renungan bagi kita semua.

Indonesia, sebuah Negara kaya. Salah satu daerah besar di dalamnya ada Jawa. Jawa justru lebih sakti lagi. Mulai dari bahasanya saja Jawa sudah ,menduduki tingkat atas. Untuk berbicara kepada orang lain saja mesti tahu siapa yang diajak berbicara. Kata-kata untuk anak kecil tidak bisa (tidak sopan) digunakan untuk orang yang lebih tua. Ada mangan, maem, madang, nedo, dahar. Belum lagi urusan misuh. Semuanya bisa digunakan untuk misuhi orang lain. Bahkan semua bagian wajah bisa terdengar kasar jika digunakan misuh. Bahasa lainnya mana ada? Hal itu membuktikan bahwa orang Jawa kreatif.

Dalam urusan sikap orang Jawa terkenal sangat pintar dalam mengatur & meletakkan di tempat yang sesuai. Semua mempunyai posisi & porsi yang sesuai. Ambil contoh saja dalam hal tawar menawar. Orang jawa mesti melakukan basa-basi terlebih dahulu agar dapat mengambil hati orang yang dituju. Seperti ada yang kurang jika tidak membangun suasana akrab. Orang jawa memang senang melakukan sesuatu setahap demi setahap. Sampai-sampai atas jasa Kiai Kanjeng dengan sikap Jawanya kerukunan umat antar agama di Belanda dapat terwujud. Benar-benar suatu pelajaran tak tertulis dari nenek moyang yang tak ternilai harganya. Tak heran nama-nama raja Jawa selalu disertai dengan kata yang mengandung sikap mengayomi, pangku, ada Hamangkubuwono, Mangkubumi dst.

Mungkin banyak dari kita yang tak sadar bahwa sebenarnya Negara kita ini benar-benar kaya lagi terpuji. Tak percaya? Silakan absen sendiri. Berbagai sumber daya alam ada di sini. Aneka spesies hewan –mamalia, burung, reptile, ikan- yang tak banyak ditemukan di tempat manapun justru dengan mudah menemukannya di sini. Itu saja masih banyak yang belum terdata lebih lanjut. Belum lagi tumbuh-tumbuhannya. Bukankah bangsa Portugis dulu menjajah negeri ini juga karena tumbuhan (rempah-rempah)? Itu tadi baru kekayaan alam saja. Dalam kebudayaan sepertinya Indonesia dari dulu selalu memperoleh peringkat di mata dunia. Mulai dari situs-situs bekas kerajaan kuno hingga bermacam-macam tradisi & budayanya selalu menarik untuk diminati. Betapa tidak sadarnya negeri kita.

Saking tidak sadarnya dengan sikap legowo kita bagi-bagikan kekayaan negeri kita kepada ‘tetangga-tetangga’ . Sudah berapa juta ekor ikan yang dijaring oleh kapal-kapal asing di perairam nusantara? Sudah berapa ribu batang pohon hutan kita ditebangi seenaknya oleh perusahaan-perusahaan besar tak bermuka? Sudah berapa ribu hektar tambang-tambang kita dikeruk & dimanfaatkan oleh orang lain? Sudah berapa kali kebudayaan kita lolos dibawa lari tetangga sendiri/ sudah berapa ratus orang-orang tak bersalah negeri kita diperbudak di negeri orang?

Sebenarnya tak ada yang perlu disalahkan. Malah kita sebagai rakyat Indonesia mesti besar hati karena kita adalah bangsa yang besar & terpuji. Jiwa bangsa ini begitu besar, selalu ikhlas & mendahulukan orang lain. Secara otomatis kita sudah mengamalkan ajaran tasawuf untuk selalu mengalah & tidak terlalu cinta dunia. Ditambah lagi ada hadits yang menerangkan, "barang siapa yang beriman kepada allah & hari akhir maka muliakanlah tetangganya". Bukankah kita ikut mengamalkan hadits di atas dengan memberikan kekayaan kita kepada 'tetangga-tetangga' kita? Maka tak ada salahnya jika kita tetap bersyukur menjadi Indonesia. Indonesia memang dari dulu terkenal dengan sikap 'mengalahnya'. Bahkan mungkin jika kelak 2024 indonesia ikut piala dunia juga tak sungkan-sungkan menunjukkan sikap itu.

Semua persoalan ini sebenarnya tidak perlu kita besar-besarkan. Jika kita sadar akan posisi kita sebagai bangsa besar tentunya kita akan terus berusaha mengatasinya. Dengan begitu, sepertinya perjuangan memang tak ada kata berhenti. Kita harus tetap menanamkan semangat pejuabg-pejuang pendahulu kita yang ikut membentuk & membangun Indonesia. Tugas kita kini adalah mempertahankan apa yang sudah diperjuangkan dengan semangat 45 oleh para pahlawan.

---

Lantas apakah dengan kekayaan yang sungguh amat melimpah ini kita tetap bersikap legowo & mengalah? Itulah yang menjadi PR bagi kita bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan ini. Karena tak selamanya sikap seperti Ini baik, karena seperti orang Jawa, kita mesti dapat menempatkan sesuatu sesuai tempatnya. Jika tidak dari kita & mulai sekarang kapan lagi?

18 Agustus 2010

Sebuah Ikatan

Ramadhan kali ini sepertinya kurang berwarna dengan yang sudah-sudah, namun aku akan tetap menikmatinya. Yang semakin berwarna justru pikiranku sekarang. Gak Cuma mikir monoton ke ngaji aja. Jika kurasakan lagi dari dulu aku juga gini deh. Tapi kali ini beda. Ini tak lain karena liburan di rumah kemarin. Aku bertemu kembali dengan teman-teman lawas yang sudah sekian tahun tak berjumpa. Mereka semua memberi warna baru bagiku & lagi membuat pikiran lebih fresh sebagai bekal ke depan. Melihat mereka dalam kondisi sekarang aku bisa tahu kalau mereka semakin matang sebagai pemuda. Udin tetap cemerlang serperti dulu, bahkan kini bisa dirasakan jika ia merupakan bintang di kampus. Kok bisa ya mempertahankan kondisi juara seperti itu hingga sekarang? Huda kini juga sudah mulai mapan di rumahnya. Karena tahun depan sudah tidak kembali ke pondok. Tapi petuah-petuah & teladan kiainya yang nyentrik tetap terlihat. Alwan juga demikian. Setelah 5 tahun tak bertemu sikapnya masih sama, anteng banget. Tapi kini gak sembarang anteng. Bekal ilmunya di Mranggen kelihatannya tak bisa diremehkan walaupun sekarang masuk di kelas di bawah Arul di Tegalrejo. Ya, Arul kini sudah masuk kelas tinggi di sana, Fathul Wahab. Bahkan Arul yang dulu kelihatannya sering sembrono ini sudah bisa ngaji kitab kosongan. Emang sikapnya menutupi keunggulannya itu. Tapi setelah berjam-jam cangkruk bareng Huda di terasnya ia tak bisa diremehkan begitu saja. Niha pun tak kalah ketinggalan. Satu-satunya teman wanita yang masih akrab denganku kini suka menggebu-gebu jika diajak ngobrol tentang NU.
Teman-temanku di atas adalah sebagian yang sudah kutemui kembali pada liburan kemarin. Satu hal yang menonjol dari mereka semua adalah sudah mempunyai rinsip. Mereka pulalah yang memberi inspirasi buatku menuntut ilmu lebih di pesantren ini. Menyadarkanku bahwa pemuda haruslah mempunyai bekal sebagai generasi penerus. Benar-benar tak rugi aku kemarin pulang & menemui teman-teman ku yang sempat hilang ini.
---
Dulu aku menganggap teman sesorang jika pernah satu tempat. Entah satu kelas, satu sekolah, satu kamar, satu ustadz, satu eblek dan satu-satu yang lain. Biasanya aku baru bisa akrab dengan orang lain jika begitu. Padahal sika seperti itu malah terkesan terlalu membatasi diri. Tak heran hingga kini teman-teman yang akrab denganku tak sebanyak teman-teman lain.
Aku juga heran kenapa dulu selalu bersikap seperti itu. Aku baru sadar setelah mendengar cerita dari teman-teman lain & mengalami sendiri. Ternyata berteman itu tak ada batasnya. Kita boleh saja berteman dengan siapapun selama masih bisa menjaga diri kita dari yang tidak-tidak. Pikirku sih teman di kelas ya di kelas,di kamar sebatas di kamar, di desa sebatas desa dst.
Aku akrab dengan teman-teman SMP, seperti Huda, Musanif, Bela, Agung, Arul dkk hanya saat kami berada dalam satu tempat. Begitu juga dengan teman-teman SD dulu, Aad, Zainal, Niha, Udin dan yang lain. Setelah berpisah& berbeda tempat aku dengan tak sulit melepas ikatan begitu saja. Toh kita kemungkinan berkumpul kembali sangat sedikit. Aku cari teman lain di tempat baru malah lebih menyenangkan. Dulu aku selalu berpikir seperti itu. Wal hasil, malah tak ada yang dapat kugenggam lebih lama ikatanya. Semuanya lepas. Seperti halnya jika kita punya banyak balon & tak kita ikat dengan kuat. Setelah lepas semuanya terang saja tak menyisakan apa pun.
Aku jadi sering kesepian. Aku merasa dunia begitu sempit & tak ada teman yang bisa kujadikan pegangan. Semua orang terasa asing. Ternyata goncangan kesepian melebihi serangan penyakit.
Aku sadar sikap seperti itu salah. Tapi sayang, sampai sekarang belum juga menemukan solusi yang cocok untuk ini semua. Aku terus saja terkubang dalam kungkuman sepi. Hingga akhirnya aku dolan ke teman lawas, Huda. Huda sebaliknya denganku, mudah akrab dengan siapapun & komunikasi dengan teman-teman lawasnya masih terjaga. Dengan diajaknya dolan ke rumah Alwan & Arul aku makin sadar, sikapku selama ini salah besar. Huda mengajarkan satu pelajaran berharga untuk menjaga ukhuwah & memperluas koneksi, yaitu komunikasi.
Maka liburan kemarin merupakan libur dirumah yang lebih berkesan dengan yang sudah-sudah. Karena aku telah menemukan kembali satu per satu balon yang dulu tak kuikat dengan benar, aku berjumpa kembali dengan teman-teman lamaku & kuharap aku dapat menjaga hubungan ini & menemukan kembali lebih banyak balon yang hilang di luar sana.

Lirboyo, 18 Agustus 2010

Selasa, 03 Agustus 2010

Kelompok 7

Entah kapan harinya aku nulis di dinding FB bahwa sekarang aku sudah ada di Batur lagi. Eh ada balasan dari tetanggaku, Niha. Kalo dia juga sedang ada di rumah. Wah kebetulan banget. Kami malah bisa smsan lagi. Karena selama ini memang kami sudah jarang banget saling tukar kabar. Nah, pada saat itu Niha mengajakku untuk ikut bedah buku tentang Gus Dur di UIN Suka Jogja. Duh, apa lagi ini? Tentu saja aku belum bisa menjawab ya. Karena banyak pertimbangan yang berseliweran di kepala. Motor di rumah cuma satu, itu aja kalo pagi dibawa bapak & ibu manasik haji. Trus kalopun nanti akhirnya jadi berarti tak ada cara lain kecuali boncengan, ya boncengan. Sama wanita lagi. Kalo masih saudara sih gak apa-apa. Eh niha kan masih saudara ding, tunggal buyut. Hehehe. Ditambah aku juga belum punya SIM. Tapi setelah kutimbang-timbang, kenapa tidak?! Mungkin ini memang bukan nasehat hati nurani. Tapi dengan begini kan aku gak cuma mangkrak kaya mesin usang di kamar. Lagi pula bisa jadi sarana nostalgia kita. Siapa sangka bukan? Karenanya aku penuhi ajakan sahabatku ini. Kapan lagi coba kalo gak sekrang?

Esoknya aku belum juga minta izin dari ibu atau bapak. Duh sulit banget sih ngungkapin seperti ini :p. Baru paginya sebelum kita berangkat aku ngomong ke ibu kalo pagi ini aku mau dolan ke Jogja sama Niha. Tak kusangka ternyata tanggapan ibu di luar dugaanku. Kukira mau diceramahin dulu atau langsung tembak gak boleh. Ibu monggo-monggo saja dengan rencanaku ini. Yes! Satu pintu terlewati. Kata Niha (lewat sms) acara dimulai pukul 8 jadi paling gak harus sampai di sana sebelum jam itu, apalagi ada gratisan buku yang dibedah buat 100 peserta pertama. Pagi itu mendadak aku jadi rajin. Mandi pagi (kayak masih sekolah aja), tata-tata ini itu. Pokoknya acara kali ini sudah positif bisa kuikuti. Tak disangka oleh bapak malah diberi uang saku. Wah, makasih banget bapak. Singkatnya semua siap. Kuhampiri Niha yang sedang nongol di pintu rumahnya. Jogja I’m coming!!

Perjalanan panjang kali itu menjadi momen pertama kalinya aku pergi jauh naik motor sebagai pengendara, boncengan sama cewek lagi. Karena selama ini aku hanya dibonceng. Tapi kuusahakan untuk tetap tenang, bersikap biasa & berkonsentrasi pada jalan yang kulalui. Bagi orang lain mungkin sudah menjadi hal biasa naik motor ke mana-mana. Tapi buatku ini bener-bener menjadi pengalaman berharga. Soalnya aku belum mempunyai SIM. Hehehe. Lungo adoh gak nggagas aturan. :P

Sepanjang perjalanan kami ngobrol naglor ngidul memecah keheningan jalan. Gak cuma diem aja kemudian malah ngantuk. Hingga tak terasa sudah sampai di tempat tujuan kami, UIN Sunan Kalijaga Jogja. Tanpa basa-basi kami menuju gedung fak. Tarbiyah & Soshum di sebelah kanan jalan. Sempat bingung juga karena kami memang bukan termasuk warga sini, jadi tak begitu tahu lokasi acara ini. Setelah keliling tanya sini situ akhirnya ketemu juga gedung soshum yang digunakan acara. Banyak mahasiswa di sekitarnya. Aku membayangkan menjadi salah satu di antaranya. Rasanya kok kurang bersahabat ya? Gak seperti di tempat yang sudah aku singgahi. Ah ini kan cuma perasaan saja.

Kami memasuki ruangan lumayan luas dengan masih banyak kursi kosong di dalamnya. Aku dapat nomor 41 sedangkan Niha 40. artinya kami masih termasuk peserta yang berhak membawa pulang buku gratis. Kursi tengah yang kosong menjadi jujugan kami. Dari Niha aku jadi tahu kalo sebenarnya ini semua adalah undangan dari Udin. Dia ternyata malah jadi mahasiswa di sini, walau bukan termasuk panitia. Jika yang ngajak Udin pastinya dia juga ikut acara ini. Tapi dari tadi kok gak kelihatan ya?

Kami kembali mengisi waktu dengan obrolan karena memang acara belum dimulai. Tiba-tiba aku dikejutkan Niha yang memanggil seseorang. Udin melengos menatap kami. Dia yang sedang berdiri mencari tempat duduk kami langsung menempati bangku kosong di sebelahku. Wah ternyata benar-benar menjadi momen nostalgia. Banyak yang berubah dari dia. Lebih banyak jerawat, lebih tinggi dengan gaya yang tak berubah, pakaian necis, rambut rapi tersisir dan kali ini ditambah sepatu pantovel. Tetap menonjolkan gaya resminya. Karena acara belum mulai juga kami mulai aja dengan ngobrol lagi. Gaya bicara udin juga sudah berubah, kini lebih berbobot dengan diberi kutipan dari mana saja.

Begitu jam menunjuk angka 9 acara baru mulai. . . . .

---
Pukul 12 acara selesai. Para peserta menyerbu satu-satunya pintu yang tersedia untuk keluar. Kami bertiga leyeh-leyeh melihat pemandangan ini, mendingan terakhiran aja. Yang penting kan nantinya juga dapet buku. Setelah longgar kami baru keluar. Oleh panitia kami diberi nasi kotak. Untuk buku aku & Niha yang belum mendapatkannya masih harus berjuang ditengah kerumunan orang yang lagi-lagi mengantri. Tapi tak perlu waktu lama untuk mendapatkan buku kecil warna coklat ini. Kali ini waktunya bersantai sambil menyantap hidangan dari panitia. Di lantai atas aku & Niha melahap habis nasi lele ini, sedangkan Udin hanya menghabiskan minumnya saja.



Selesai makan sambil (lagi-lagi) ngobrol kami sholat dzuhur. Sebenarnya Udin mau langsung pulang, tapi karena Niha masih belum kenyang (hehehe) kami ditraktir es di seberang kampus. Senang banget bisa kumpul dengan teman lama lagi.

---
Jika dilihat kami bertiga seperti kelompok 7-nya Naruto. Aku sebagai Naruto, Udin sebagai Sasuke dan Niha sebagai Sakura. Kok bisa? Hehehe. Ini hanya pendapatku saja kok. Kita kupas yuk..

Kumulai dari Udin aja ya. Soalnya begitu melihat Udin aku jadi inget Sasuke. Sasuke adalah seorang misterius dengan kemampuan mengagumkan jika dibanding dengan teman sebayanya. Di kelas dia menjadi bintang & mampu memikat wanita tanpa harus berlagak di depannya. Pokoknya jika dibandingkan dengan Naruto, Sasuke jauh di atasnya. Tak heran jika Naruto selalu iri jika di depan Sasuke. Sedangkan Udin dulu juga merupakan bintang di kelas. Kemampuannya mencerna & memahami pelajaran memang patut diacungi jempol. Tak heran jika nilai rapotnya selalu mendapatkan peringkat 1. tak hanya itu Udin juga pandai banget membuat wanita jatuh hati. Tapi berbeda dengan Sasuke, Udin lebih menonjolkan sikapnya. Entah itu perhatian, pujian atau guyonan. Begitu udin mengeluarkan jurusnya itu dijamin wanita kan terpesona. Wajar jika dulu ia kurang disukai teman-teman kami yang laki-laki. Hehehe, maaf ya Din. :p

Selanjutnya Sakura. Sakura adalah satu-satunya wanita dalam tim 7 punya Naruto. Ia adalah orang yang disukai Naruto sejak pertama satu kelas di akademi ninja. Sayang waktu itu sakura menganggap Naruto sebagai pengganggu hubungannya dengan Sasuke. Padahal Sasuke sendiri tidak tertarik pada Sakura. Dengan kata lain Sakura adalah salah satu wanita yang mengagumi pesona sasuke. Selain itu ia merupakan ninja medis. Lalu bagaimana dengan Niha? Mengenai suka tidaknya dengan Sasuke (Udin) aku kurang tahu sih :P. yang jelas Niha merupakan ‘korban’ dari jurus mempesona dari seorang Udin. Hehehe. Kok bisa? Sebenarnya ini kudapat dari blog Niha sendiri. Bahwa dulu Udin perhatian banget sama dia. Jadi sama kan dengan sasuke yang dapat memikat wanita?. Trus ditambah lagi sekarang ini Niha sedang mendalami ilmu medis (farmasi). Begitu pula sakura yang seorang ninja medis.

Terus bagaimana dengan Naruto? Naruto selalu menjadi orang yang ketinggalan dalam masalah akademis jika dibandingkan dengan kedua temannya. Tapi Naruto menang dalam hal semangat. Oleh gurunya sendiri ia dijuluki sebagaai ninja penuh kejutan nomor 1. Selain itu Naruto merupakan salah satu orang dengan klan istimewa di desanya, keturunan Hokage keempat. Bagaimana dengan diriku? Sebenarnya tak banyak yang mirip antara aku dengan naruto. mungkin dalam hal ‘ketinggalan’ aku menyamainya. Prestasiku memang tak secemerlang kedua temanku di atas. Naruto juga kalah soal memikat wanita. Gayanya ceplas-ceplos tak peduli siapa yang dihadapi. Aku juga mungkin seorang yang kurang bisa memberikan perhatian lebih kepada wanita. Aku lebih suka hubungan apa adanya. Gak perlu menunjukkan sikap agar wanita terpesona. Walau begitu posisiku unggul sebagai orang yang masih meneruskan pendidikan agama di pesantren. Padahal dulu Niha ingin banget masuk pesantren. Udin juga mungkin begitu.

Bagaimanapun juga ini semua adalah pendapatku. Bisa saja salah. Aku kepikiran membuat tulisan ini setelah kembali beertemu dengan kedua temanku tadi & membaca blog Niha. Dalam tulisannya hanya tiga orang yang dibahas diantara teman-temannya, Udin, Aku & lik Afif. Nah, mungkin tulisan ini bisa melengkapi pendapat pribadinya yang ditulis di blog.

Selasa, 20 Juli 2010

Di Balik Satu Abad Lirboyo

dari gubug kecil peninggalan sang guru
mbah Manab memulai perjalanan ini
dengan hanya berbekal ikhlas & tawakal
mbah Manab menempa mental santri-santrinya
dengan bermodal 'nggih', manut pada guru
mbah Manab berhasil membuktikan

Inilah Pesantren!
Inilah Lirboyo!

sekian ribu tapak tilas tergores
sekian ribu kisah & riwayat
menjadi saksi bisu perjalanannya
hingga kini
100 tahun sudah rintisan mbah Manab berdiri kokoh
Satu Abad sudah Lirboyo berkiprah

...

panflet, spanduk, baliho
hingga kabar mulut kr mulut
menjadi media yang menyebarkan usianya
mendadak Lirboyo menjadi buah bibir yang tak habis untuk selalu dibicarakan
mbah Manab, mbah Marzuki, mbah Mahrus, gus Makshum
Alfiyah, fathul Qorib, hingga senggot
menjadi topik menarik
tiap cangkrukan di mana-mana

seminar demi seminar mewarnai aktivitas
bakti sosial semakin mempererat hubungan Lirboyo dengan masyarakat sekitar
musabaqoh-musabaqih membuat suasana semakin meriah
lontaran jawaban Mubahhits dalam bahtsul masail
membuat penontonnya semakin berdecak kagum
kemeriahan bazar juga tak kalah menjadi perhatian
souvenir-souvenir berjejer menghiasi etalase toko-toko sepanjang jalan
logo-logo Satu Abad hasil coretan kreatif tangan santri membuat tembok semakin berwarna
semuanya demi memeriahkan
Peringatan Satu Abad Lirboyo

dan puncaknya
sekitar 30.000 jama'ah berkumpul bersama 100 kiai & habaib
untuk beristighotsah di area Al muktamar
sekitar 10.000 alumni berdatangan demi bernostalgia bersama
mengikuti MUNAS HIMASAL
berpartisipasi dalam Silaturahim bersama Presiden
di pondok tercinta
tokoh-tokoh nasional hasil gemblengan Lirboyo
membakar kembali himmah sebagai santri dengan gojlokannya
dalam acara Reuni Akbar

di balik itu semua
aku sangat bersyukur bisa menjadi bagian kecil
dari besarnya Peringatan Satu Abad Lirboyo ini

Lirboyo, 22 Juli 2010

Jumat, 16 Juli 2010

Trio Pembakar Semangat

Selama satu tahun ini dengan perpindahan kwartal hingga kini yang terakhir aku mulai tahu karakter masing-masing mustahiqku. Sistem pengajaran di sini tiap tiga bulan mustahiq yang akan mengajar, membimbing & memotivasi kami berganti sesuai dengan mustahiq kelas lain yang masih satu bagian. Bagian B diajar oleh Bpk. Muqorrobin Afandi, Bpk. Zamroji Assunan, dan Bpk. Mudaimulloh Azza. Yang bikin bangga ketiga-tiganya adalah termasuk dewan perumus LBM induk. Sayangnya selama ini aku baru bisa membanggakan saja, belum meneladani sepenuhnya.
Dulu aku masuk kelas pertaman di kelas pak Bin. Alasan waktu itu cuma satu, ada temanku, Asnawi. Aku tak mencoba saran teman-teman untuk menjajal satu per satu kelas hingga menemukan yang cocok. Pikirku toh pelajarannya sama. Padahal oleh panitia ujian masuk aku seharusnya masuk di bagian B3, pak Daim. Aku memang belum mengenal musathiq kelas 1 Tsn. Makanya kelas B1 merupakan pilihan pertama sekaligus terakhir setelah ujian masuk.
Jika disimak pak Bin dalam mengajar pelajaran lebih banyak terpaku pada teks. Tapi tetap ada motivasi & wawasan lain yang disampaikan. Pak Bin memang bidangnya bukan berpidato hingga berbusa-busa, tapi lebih pada ngaji kitab dan telatennya. Asli beliau adalah satu-satunya mustahiq bagian B yang paling rajin, telaten, sregep, dan ‘sayang’ dengan anak didiknya. Bayangkan sudah ada di depan kelas 10 menit bahkan 5 menit setelah teng lalaran berbunyi. Karenanya aku sering kena takzir karena tak bisa mendahului pak Bin berangkat sekolah & musyawarah. Beliau juga paling telaten dalam membimbing & menjaga setoran hafalan teman-teman hingga muhafadhoh kemarin. Bahkan bagi teman-teman yang belum berpredikat jayyid dalam muhafadhoh maupun setoran masih dianggap mempunyai tanggungan pada beliau. Sedangkan mustahiq lain, jangankan setoran hingga muhafadhoh, setoran rutin mingguan saja mungkin agak santai. Oleh karena sikap pak Bin yang telaten ini pak Zam kadang gojlok pak Bin sangat keibuan dalam mentarbiyah anak didiknya. Walau begitu aku sangat bersyukur mendapat mustahiq seperti beliau. Karena dengan begitu tak ada kata santai & selalu merasa disemangati. Tak salah dulu aku ikut Asnawi di kelasnya.
Begitu masuk kwartal II, B1 mendapat giliran rolling pindah ke kelas B2 dengan mustahiq dari B3, pak Daim. Kesan pertama melihat pak Daim rasanya horror banget. Bagaimana tidak, secuil senyum saja jarang tersungging di wajah beliau. Dan ternyata bukan aku saja yang merasakan euforia ini. Karena sikapnya yang kelihatan selalu tegang ini tak banyak kasus membolos di kelas kami. Tak perlu tanya macem-macem, siapa yang tidak musyawarah, tidak lalaran dan tidak-tidak yang lain. Hanya itu. Selama menjadi rois Alfiyah di kwartal ini setoran hafalan pelajaran bisa dihitung. Tapi begitu ‘interogasi’ pak Daim keluar hanya segelintir yang berdiri. Ternyata ampuh juga sikap cuek seperti ini.
Bagiku sistem pengajaran pak Daim berkebalikan dengan pak Bin. Beliau lebih banyak berbicara secara kontekstual & berbagai macam masalah aktual di luar sana dengan tetap berpatokan dengan pelajaran yang diajarkan. Bisa saja ketika menerangkan Alfiyah atau I’rob penjelasannya nyasar hingga ke ranah perpolitikan negeri ini. Tapi dengan begini aku justru merasakan semangatku bertambah. Jangan terlalu terpaku pada teks. Selain itu pak Daim juga paling jago untuk membakar himmah kami sebagai santri Lirboyo untuk masa depan, tak malu dengan predikat santri & memotivasi kami agar bisa memadukan akademik (kuliah) dengan salaf (pesantren). walau beliau sendiri sebenarnya belum pernah mengenyam bangku kuliah, aku yakin kemampuannya bisa disandingkan dengan dosen-dosen di kampus. O iya ada satu lagi ciri khas pak Daim, untuk urusan musyawarah beliau nomor satu. Musyawarah kelas, pra FQ, Fathul Qorib hingga forum-forum Bahtsul masail selalu beliau tekankan pada kami. Dan puncaknya kemarin beliau masuk ANTV karena bahtsu yang membahas rebonding. Bangga deh punya mustahiq seperti pak Daim.
Mustahiq selanjutnya untuk bagian B1 adalah pak Zam dari B2. menurutku sistem pak Zam merupakan gabungan antara kedua mustahiq sebelumnya. Penjelasannya tak pernah jauh dari kitab kuning. Tak jarang aneka ayat al Qur’an, hadits sampai maqolah dari berbagai kitab beliau utarakan. Kama qila fi… dan penjelasan pak Zam juga selalu berhubungnan dengan tasawuf, pendidikan hati. Makanya lebih terkesan sebagai wa’idh, ‘seksi’ mau’idhoh hasanah.
Gaya khas dari pak Zam adalah gojlok. Kebanyakan gojlokan ditujukan bagi teman-teman yang ‘bermasalah’. Karena digunakan untuk menyadarkan orang gojlokan-gojlokan beliau selalu berbobot & berisi. Tidak sembarang gojlok seperti pada jam’iyyah-jam’iyyah pada umumnya. Tapi karena namanya gojlokan tetap saja terasa cair & tak jarang bikin ketawa. Namun tetap membekas di hati & membuat kita berpikir. Tak salah jika di antara ketiga mustahiq kami, pak Zamlah yang paling plek, akrab dengan murid-muridnya. Bahkan kadang sampai terjadi serang-serangan gojlokan. O iya ada satu hal lagi yang khas dari pak Zam, beliau tidak pernah duduk di kursi yang disediakan selama mengajar. Sebagai gantinya teman-teman biasanya sudah menyediakan sajadah lengkap dengan bantal di dekat meja. Mungkin prinsipnya seperti pak Fata, bahwa aku belum pantas menduduki kursi guruku.

Selasa, 13 Juli 2010

Persiapan dari 3 Guruku

Selama satu tahun pelajaran ini banyak wawasan baru dari MHM & segala aspeknya. Kini gambaran Lirboyo itu seperti apa juga semakin jelas. Sayang aku belum bisa memenuhnya. Kitab-kitab pelajaran kelas 1 Tsanawi sudah banyak yang khatam. Terhitung dari 9 kitab yang diajarkan hanya tinggal 1 yang belum khatam, Fathul Mu’in. Tadi malam giliran kitab Waroqot yang menyusul kitan-kitab lain yang sudah masuk lemari. Nah, momen khataman yang satu ini yang lain dari yang lain.
Tak bisaanya acara khataman kitab 3 kelas digabung menjadi 1. Hari ini memang pelajaran awal tsani kelasku Waroqot, pengantar ushul fiqh. Sengaja begitu ya itu tadi, khataman. Menjelang istirahat pak Bin menginformasikan kalau nanti khatamannya digabung dengan kelas sebelah. Pikirku mungkn seperti Bulugh kemarin yang dikhatamkan ketika gabung dengan kelas B2. Tapi ini tidak. Bayangkan siswa 3 kelas berkumpul dalam ruangan ukuran sekitar 8x9 m. Yang membedakan di kelas B2 yang menjadi saksi bisu lailatul ijtima’ bagian B ini formasinya ditata sedemikian sehingga didepan ada tempat khusus untuk 3 orang mustahiq kami. Entah siapa yang mempunyai inisiatif seperti ini. Yang jelas malam itu menjadi malam berkesan yang mengisi kembali tangki semangat kami yang hampir kosong karena suasana akhir tahun.
Dalam pelajaran tak bisaa ini juga ada MCnya. Lutfi dari kelas pak Daim yang mengatur jalannya acara yang isinya sesuai dengan bidang ketiga mustahiq kami yang berbeda-beda. Pak Bin sebegai qori’ kitab yang mengkhatamkan Waroqot, pak Daim sang motivator dari LBM mengaduk-aduk pikiran kami & merefill semangat dengan doktrin-doktrin khasnya. Dan terakhir pak Zam sebagai penyimpul sekaligus pembaca doa penutup.

Pada malam bersejarah bagi kami warga B itu masing-masing mustahiq memotivasi kami. Yang paling banyak memerikan masukan & tips sebagai bekal kami untuk melanjutkan perjalanan di MHM ini adalah pak Daim. Dengan gaya menggebbu-gebu seolah tak ada titik & koma, pak Daim terus mendoktrin kami. Aku rasakan ada semangat yang meletik di dada. Pak Zam & pak Bin juga begiu, membekali & memotivasi kami, tapi tak sederas motivasi pak Daim.
Pak Daim menyitir hasil muhafadhoh kelas I Tsn kemarin, bahwa untuk tahun ini ada kenaikan dalam peringkat mutawasith & rodi', juga penurunan dalam peringkat jayyid jika dibandingkan dengan kelas I Tsn tahun lalu. Artinya kualitas kelas 1 Tsn tahun ini menurun. Tak tanggung-tanggung hingga 8 %. Melihat kenyataan seperi ini siapa yang tahan untuk tinggal diam? Aku sendiri kadang bertanya kenapa banyak teman-teman yang tidak mencapai target nadhom, kenapa bisa sebegitu mudahnya menerima hasil mutawasith bahkan rodi'? menurut mustahiqku dari Ngawi ini penyebab pokok dari ini semua adalah (kurangnya) persiapan.
Banyak orang yang meremehkan hal sepele namun amat berharga ini. Bagaimana tidak, kebanyakan dari kita lebih senang mengerjakan sesuatu jika sudah mepet, dikejar deadline. Padahal dengan berbekal persiapan yang cukup tak usah banyak-banyak, apa yang kita hadapi akan terasa lebih ringan. Ujian, belajar, menulis, nglalar hingga bayar hutang kebanyakan lebih memilih waktu-waktu kritis ketika sudah mendekati hari H. entah kenapa itu semua kita nikmati sehingga menjadi karakter.
Aneka tips & masukan pak Daim kemukakan. Bagaimana mengoptimalkan waktu musyawarah, waktu sekolah, waktu belajar, hingga waktu mondok yang relatif terbatas. Bahwa madzhab Lirboyo yang berupa al fahmu ba'dal hifdhi lebih beliau tekankan untuk dibalik. Pahami terlebih dahulu. Hanya pahami. Setelah itu hafalkan. Baru setelahnya dalami & cari referensi-referensi yang mendukung. Usahakan selalu aktif dalam musyawarah. Karena kegiatan inlah yang membuat otak kita semakin tersasah, analisis lebih tajam & tanggapan makin kritis. Untuk bisa isytighol pada ini semua tidak boleh ada kegiatan lain yang mengganggunya, seperti menghafal nadhom & menulis pelajaran. Bukankah suatu fiil hanya bias mempunyai satu ma'mul? Jika dilihat mempunyai dua ma'mul maka salah satunya harus mentaqdir fiil lain. Sehinga satu fiil tetap bisa isytighol pada satu ma'mul saja. Nah, agar semua itu bisa terlaksana perlu adanya persiapan. Sekali lagi persiapan. Persiapan dalam menghafal nadhom agar tidak keteteran & menulis pelajaran agar bisa lebih leluasa belajar. Karenanya oleh pak Daim dalam liburan akhir tahun selama + 2,5 bulan ini diharapkan kami bisa melaksanakan persiapan-persiapan tersebut. Aku jadi teringat nasehat pak Fata dulu, isi liburan dengan nglalar & nulis. Ternyata ini manfaatnya.
Mengenai madzhab Lirboyo tadi tak selamanya pak Daim membaliknya. Beliau tetap menekankan kepada kami untuk tetap melaksanakannya, supaya karakter Lirboyo sesunggunya dapat kami peroleh. Dengan hafal terlebih dahulu maka kita lebih mudah untuk memahami. Jika dibandingkan dengan orang yang hafalannya selalu mepet dengan waktu setoran tapi tetap lancar masih lebih baik hafal dulu, punya persiapan hafalan. Karena yang lebih penting dari itu semua adalah tsubut yang dihasilkan setelah selesai setoran. Hafalan yang mempunyai persiapan lebih mempunyai bekas daripada yang mengafalkan mepet walau dengan kemampuan otak cemerlang.
Ada satu kata yang terus terngiang di kepalaku, sebanyak apa yang kau tanyakan sebanyak itu pula kau paham. Jika diruntut lebih lanjut ternyata kemampuanku selama ini belum ada apa-apanya. Aku cenderung menerima begitu saja materi yang diajarkan tanpa bersikap kritis yang menimbulkan aneka tanda tanya. Dalam musyawarah pun aku termasuk golongan yang pasif berbicara, walaupun cuma bertanya. Selanjutnya apakah aku bisa memenuhi amanat pak Daim ini? Semoga.
Setelah sekian puluh menit pak Daim menggebu-gebu membakar semangat kami, giliran pak Zam yang menyiramkan nilai-nilai tasawuf yang menyejukkan hati kami. Tak banyak yang beliau utarkan karena waktu juga sudah semakin malam. Apalagi lonceng pertanda jam sekolah usai, pukul 11 sedah berbunyi. Di antara yang beliau tekankan adalah masalah unggah-ungguh kita sebagai santri dengan guru. Beliau mengibaratkan guru sebagai dokter & murid sebagai pasien. Pasien harus selalu patuh pada dokter jika ingn sembuh dari penyakitnya. Jika hanya mematuhi perintah saja tidak mau, siap-siap saja menanggung penyakit yang semakin parah. Begitu halnya murid terhadap gurunya.
Sebagai acara penutup adalah doa oleh pak Zam & mushofahah kepada mustahiq. Malam itu benar-benar malam yang membakar & merefill semangat kami.
Lirboyo 2 Juli 2010

Kamis, 15 April 2010

Mengapa (Naruto) harus gagal?

Jika anak-anak mengidolakan Naruto karena jurus-jurusnya yang keren, para remaja putri menomor-satukan Sasuke karena penampilan fisiknya, teman-teman lain lebih suka pada pertempurannya, maka aku lebih tertarik pada alur cerita & cara penyampaian Masashi kepada pembaca tentang cerita-cerita para tokoh. Jika dibanding dengan novel, sebenarnya Naruto lebih menarik. Selain karena gambarnya yang sederhana dan detil, alurnya juga tak kalah menarik. Bukankah kebanyakan novel yang menjadi favorit adalah yang mempunyai alur rumit?

Satu hal yang begitu menonjol dalam serial Naruto adalah bangkit dari kegagalan. Terhitung dari semua tokoh yang sudah aku kenal adalah berlatar belakang tidak menguntungkan. Bahkan dikucilkan oleh orang-orang sekitar. Naruto sejak kecil dicap sabagi orang bodoh yang biang heboh. Dalam tubuhnya terkurung siluman berkekuatan luar bisaa yang ditakuti orang-orang. Sasuke hidup sebatang kara sejak klan keluarganya dibantai oleh kakaknya sendiri. Sakura dari kecil adalah orang yang penyendiri yang tak tahu kemampuannya. Lee hidup sebagai ninja yang tidak mempunyai kemampuan genjutsu (jurus ninja), hanya bisa mengandalakan taijutsu (fisik). Neji & Hinata hidup dalam kungkungan takdir keluarga Hyuga yang mengikat. Gaara dari kecil merupakan orang yang terbuang bahkan oleh ayahnya sendiri karena dianggap monster. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh dengan latar belakangnya masing-masing.

Kiranya kiasan kegagalan merupakan pijakan awal menuju kesuksesan ada benarnya. Tak sukses yang muncul dengan sendirinya atau warisan dari keluarga. Sukses yang sebenarnya adalah dari diri sendiri. Karena nasihat dari hati nurani lebih mempengaruhi daripada komentar-komentar orang lain. Orang yang sukses adalah orang yang berhasil menemukan impiannya & berusaha sekuat tenaga untuk menggapainya.

Ambil contoh saja Naruto. Satu hal yang begitu melekat & menjadi karakter Naruto adalah pantang menyerah. Dulunya Naruto memang terkucilkan & selalu sakit hati. Seiring bertambahnya usia & teman-temannya Naruto bisa mematri dalam jiwanya untuk selalu berkorban demi melindugi orang yang dicintainya. Karena hal ini ia tidak pernah menyerah sebelum bisa menyelamatkan temannya. Kata-kata khasnya adalah, aku tidak akan menarik kata-kataku. Itulah jalan ninjaku. Sekali maju ia tidak akan mundur sebelum tujuannya tercapai. Mengherankan memang sifat keras kepalanya ini. Tapi di sinilah sebenarnya tumbuh kekuatan itu, nasehat (motivasi) dari diri sendiri. Bukankah Nabi SAW kuga bersabda, istafti qolbak!. Kekuatan dari diri sendirilah yang dapat membangkitkan kekuatan yang lain. Lihat saja ketika Naruto bertarung melawan Gaara juga Orochimaru & Kabuto demi melindungi temannya. Bahkan karena sikapnya ini semangat teman-temannya ikut terbakar. Sikap pantang menyerah & ingin melindungi yang timbul dari diri sendii. Inilah salah satu poin openting yang dapat dipetik dari Naruto.

Nah, sekarang mari kita larikan pada kenyataan. Setelah dari tadi membahas dunia khayalan Masashi Kishimoto mari kita bertanya pada diri kita sendiri, bagaimana dengan kita? Apakah sudah mempunyai tujuan yang jelas? Seperti Hokage yang menjadi tujuan Naruto. Lantas sudahkan kita berusaha mencapainya? Dan ingat kekuatan terbesar adalah dari diri sendiri. Jika tidak maka dari kehidupan sekitar.

Lembaran-lembaran sulit kehidupan yang terjadi pada Naruto dan kawan-kawan adalah hasil observasi sang pengarang juga. Pada kenyataannya memang demikian. Tak ada orang yag sukses yang kehidupannya selalu di atas dari awal hingga akhir. Dan ada saja jalan untuk mencapai puncak tersebut seterjal apapun itu. Hanya orang-orang-orang yang bermental kuat & berkarakter yang dapat melewatinya dengan caranya sendiri. 

Seorang pedagang sukses bisa saja dulunya hanyalah satu dari sekian pengasong atau buruh. Dengan kemauan kuat ia bisa mentas dari perjuangannya sehingga dapat menjadi saudagar. Seorang pelukis, ambil contoh saja Gus Mus, sampai rela menjadi pembantu seorang pelukis terkenal di kotanya demi melihat sang maestro menggoreskan kuas catnya pada kanvas. Seorang mahasiswa atau santri ‘sejati’ harus bisa mengatur waktu kuliahnya yang terbatas agar selalu diisi dengan hal-hal yang dapat menunjang prestasinya. Para bahtsu-is (sebutan untul altivis bahtsu dariku :P) tidak bisa dikatakan tidak ngoyo dalam prosesnya untuk menjadi seorang yang mahir memainkan ibarot & memecahkan masail. Tak jarang diperlukan pelatihan (sorogan) intensif dengan pembimbing & kesadarannya selalu berusaha untuk bisa. Para pendekar pencak atau yang sejenisnya harus rela bontang-bantig badan demi mengusai teknik-teknik yang benar. Tak usah jauh-jauh, ibu juga termasuk orang kuat yang dibesarkan dengan penuh tempaan kesukaran sebagai anak sulung. Ibu rela sekolahnya tidak maksimal karena membantu orang tua (simbah) bekerja demi masa depan adik-adiknya. Walau tak semua sukses tapi kebanyakan sekarang sudah mapan & bisa membahagiakan orang tua.

Walhasil, dari sekelumit aneka kisah orang-orang yang memberikan warna di hidupku atadi mari kita bertanya, sudah seberapa ngoyokah kita yang sudah kita lakukan demi menapai impian? Tinggal kita memilih yang mana, jika usaha lebih tentu menghasilkan yang lebih pula, begitu juga sebaliknya. Karenanya kita harus gagal terlebih dahulu jika ingin mencapai kesuksesan di hari yang akan datang. Bukankah susah, sulit, gagal, & jatuh adalah sebuah keniscayaan untuk meraih mimpi & cita-cita?

Lirboyo,17 April 2010