Senin, 23 Agustus 2010

Renungan Kemerdekaan

Berikut adalah sedikit ulasan Cak Nun ketika mengobarkan semangat juang Indonesia yang berhasil kutuangkan dalam tulisan. Acara bertajuk Renungan Kemerdekaan & Tabligh Ramadhan ini diselenggarakan pada malam perayaan kemerdekaan RI ke 65 di Balai Kota Kediri. Walau sedikit kuharap dapat menjadi wacana dan bahan renungan bagi kita semua.

Indonesia, sebuah Negara kaya. Salah satu daerah besar di dalamnya ada Jawa. Jawa justru lebih sakti lagi. Mulai dari bahasanya saja Jawa sudah ,menduduki tingkat atas. Untuk berbicara kepada orang lain saja mesti tahu siapa yang diajak berbicara. Kata-kata untuk anak kecil tidak bisa (tidak sopan) digunakan untuk orang yang lebih tua. Ada mangan, maem, madang, nedo, dahar. Belum lagi urusan misuh. Semuanya bisa digunakan untuk misuhi orang lain. Bahkan semua bagian wajah bisa terdengar kasar jika digunakan misuh. Bahasa lainnya mana ada? Hal itu membuktikan bahwa orang Jawa kreatif.

Dalam urusan sikap orang Jawa terkenal sangat pintar dalam mengatur & meletakkan di tempat yang sesuai. Semua mempunyai posisi & porsi yang sesuai. Ambil contoh saja dalam hal tawar menawar. Orang jawa mesti melakukan basa-basi terlebih dahulu agar dapat mengambil hati orang yang dituju. Seperti ada yang kurang jika tidak membangun suasana akrab. Orang jawa memang senang melakukan sesuatu setahap demi setahap. Sampai-sampai atas jasa Kiai Kanjeng dengan sikap Jawanya kerukunan umat antar agama di Belanda dapat terwujud. Benar-benar suatu pelajaran tak tertulis dari nenek moyang yang tak ternilai harganya. Tak heran nama-nama raja Jawa selalu disertai dengan kata yang mengandung sikap mengayomi, pangku, ada Hamangkubuwono, Mangkubumi dst.

Mungkin banyak dari kita yang tak sadar bahwa sebenarnya Negara kita ini benar-benar kaya lagi terpuji. Tak percaya? Silakan absen sendiri. Berbagai sumber daya alam ada di sini. Aneka spesies hewan –mamalia, burung, reptile, ikan- yang tak banyak ditemukan di tempat manapun justru dengan mudah menemukannya di sini. Itu saja masih banyak yang belum terdata lebih lanjut. Belum lagi tumbuh-tumbuhannya. Bukankah bangsa Portugis dulu menjajah negeri ini juga karena tumbuhan (rempah-rempah)? Itu tadi baru kekayaan alam saja. Dalam kebudayaan sepertinya Indonesia dari dulu selalu memperoleh peringkat di mata dunia. Mulai dari situs-situs bekas kerajaan kuno hingga bermacam-macam tradisi & budayanya selalu menarik untuk diminati. Betapa tidak sadarnya negeri kita.

Saking tidak sadarnya dengan sikap legowo kita bagi-bagikan kekayaan negeri kita kepada ‘tetangga-tetangga’ . Sudah berapa juta ekor ikan yang dijaring oleh kapal-kapal asing di perairam nusantara? Sudah berapa ribu batang pohon hutan kita ditebangi seenaknya oleh perusahaan-perusahaan besar tak bermuka? Sudah berapa ribu hektar tambang-tambang kita dikeruk & dimanfaatkan oleh orang lain? Sudah berapa kali kebudayaan kita lolos dibawa lari tetangga sendiri/ sudah berapa ratus orang-orang tak bersalah negeri kita diperbudak di negeri orang?

Sebenarnya tak ada yang perlu disalahkan. Malah kita sebagai rakyat Indonesia mesti besar hati karena kita adalah bangsa yang besar & terpuji. Jiwa bangsa ini begitu besar, selalu ikhlas & mendahulukan orang lain. Secara otomatis kita sudah mengamalkan ajaran tasawuf untuk selalu mengalah & tidak terlalu cinta dunia. Ditambah lagi ada hadits yang menerangkan, "barang siapa yang beriman kepada allah & hari akhir maka muliakanlah tetangganya". Bukankah kita ikut mengamalkan hadits di atas dengan memberikan kekayaan kita kepada 'tetangga-tetangga' kita? Maka tak ada salahnya jika kita tetap bersyukur menjadi Indonesia. Indonesia memang dari dulu terkenal dengan sikap 'mengalahnya'. Bahkan mungkin jika kelak 2024 indonesia ikut piala dunia juga tak sungkan-sungkan menunjukkan sikap itu.

Semua persoalan ini sebenarnya tidak perlu kita besar-besarkan. Jika kita sadar akan posisi kita sebagai bangsa besar tentunya kita akan terus berusaha mengatasinya. Dengan begitu, sepertinya perjuangan memang tak ada kata berhenti. Kita harus tetap menanamkan semangat pejuabg-pejuang pendahulu kita yang ikut membentuk & membangun Indonesia. Tugas kita kini adalah mempertahankan apa yang sudah diperjuangkan dengan semangat 45 oleh para pahlawan.

---

Lantas apakah dengan kekayaan yang sungguh amat melimpah ini kita tetap bersikap legowo & mengalah? Itulah yang menjadi PR bagi kita bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan ini. Karena tak selamanya sikap seperti Ini baik, karena seperti orang Jawa, kita mesti dapat menempatkan sesuatu sesuai tempatnya. Jika tidak dari kita & mulai sekarang kapan lagi?

18 Agustus 2010

Sebuah Ikatan

Ramadhan kali ini sepertinya kurang berwarna dengan yang sudah-sudah, namun aku akan tetap menikmatinya. Yang semakin berwarna justru pikiranku sekarang. Gak Cuma mikir monoton ke ngaji aja. Jika kurasakan lagi dari dulu aku juga gini deh. Tapi kali ini beda. Ini tak lain karena liburan di rumah kemarin. Aku bertemu kembali dengan teman-teman lawas yang sudah sekian tahun tak berjumpa. Mereka semua memberi warna baru bagiku & lagi membuat pikiran lebih fresh sebagai bekal ke depan. Melihat mereka dalam kondisi sekarang aku bisa tahu kalau mereka semakin matang sebagai pemuda. Udin tetap cemerlang serperti dulu, bahkan kini bisa dirasakan jika ia merupakan bintang di kampus. Kok bisa ya mempertahankan kondisi juara seperti itu hingga sekarang? Huda kini juga sudah mulai mapan di rumahnya. Karena tahun depan sudah tidak kembali ke pondok. Tapi petuah-petuah & teladan kiainya yang nyentrik tetap terlihat. Alwan juga demikian. Setelah 5 tahun tak bertemu sikapnya masih sama, anteng banget. Tapi kini gak sembarang anteng. Bekal ilmunya di Mranggen kelihatannya tak bisa diremehkan walaupun sekarang masuk di kelas di bawah Arul di Tegalrejo. Ya, Arul kini sudah masuk kelas tinggi di sana, Fathul Wahab. Bahkan Arul yang dulu kelihatannya sering sembrono ini sudah bisa ngaji kitab kosongan. Emang sikapnya menutupi keunggulannya itu. Tapi setelah berjam-jam cangkruk bareng Huda di terasnya ia tak bisa diremehkan begitu saja. Niha pun tak kalah ketinggalan. Satu-satunya teman wanita yang masih akrab denganku kini suka menggebu-gebu jika diajak ngobrol tentang NU.
Teman-temanku di atas adalah sebagian yang sudah kutemui kembali pada liburan kemarin. Satu hal yang menonjol dari mereka semua adalah sudah mempunyai rinsip. Mereka pulalah yang memberi inspirasi buatku menuntut ilmu lebih di pesantren ini. Menyadarkanku bahwa pemuda haruslah mempunyai bekal sebagai generasi penerus. Benar-benar tak rugi aku kemarin pulang & menemui teman-teman ku yang sempat hilang ini.
---
Dulu aku menganggap teman sesorang jika pernah satu tempat. Entah satu kelas, satu sekolah, satu kamar, satu ustadz, satu eblek dan satu-satu yang lain. Biasanya aku baru bisa akrab dengan orang lain jika begitu. Padahal sika seperti itu malah terkesan terlalu membatasi diri. Tak heran hingga kini teman-teman yang akrab denganku tak sebanyak teman-teman lain.
Aku juga heran kenapa dulu selalu bersikap seperti itu. Aku baru sadar setelah mendengar cerita dari teman-teman lain & mengalami sendiri. Ternyata berteman itu tak ada batasnya. Kita boleh saja berteman dengan siapapun selama masih bisa menjaga diri kita dari yang tidak-tidak. Pikirku sih teman di kelas ya di kelas,di kamar sebatas di kamar, di desa sebatas desa dst.
Aku akrab dengan teman-teman SMP, seperti Huda, Musanif, Bela, Agung, Arul dkk hanya saat kami berada dalam satu tempat. Begitu juga dengan teman-teman SD dulu, Aad, Zainal, Niha, Udin dan yang lain. Setelah berpisah& berbeda tempat aku dengan tak sulit melepas ikatan begitu saja. Toh kita kemungkinan berkumpul kembali sangat sedikit. Aku cari teman lain di tempat baru malah lebih menyenangkan. Dulu aku selalu berpikir seperti itu. Wal hasil, malah tak ada yang dapat kugenggam lebih lama ikatanya. Semuanya lepas. Seperti halnya jika kita punya banyak balon & tak kita ikat dengan kuat. Setelah lepas semuanya terang saja tak menyisakan apa pun.
Aku jadi sering kesepian. Aku merasa dunia begitu sempit & tak ada teman yang bisa kujadikan pegangan. Semua orang terasa asing. Ternyata goncangan kesepian melebihi serangan penyakit.
Aku sadar sikap seperti itu salah. Tapi sayang, sampai sekarang belum juga menemukan solusi yang cocok untuk ini semua. Aku terus saja terkubang dalam kungkuman sepi. Hingga akhirnya aku dolan ke teman lawas, Huda. Huda sebaliknya denganku, mudah akrab dengan siapapun & komunikasi dengan teman-teman lawasnya masih terjaga. Dengan diajaknya dolan ke rumah Alwan & Arul aku makin sadar, sikapku selama ini salah besar. Huda mengajarkan satu pelajaran berharga untuk menjaga ukhuwah & memperluas koneksi, yaitu komunikasi.
Maka liburan kemarin merupakan libur dirumah yang lebih berkesan dengan yang sudah-sudah. Karena aku telah menemukan kembali satu per satu balon yang dulu tak kuikat dengan benar, aku berjumpa kembali dengan teman-teman lamaku & kuharap aku dapat menjaga hubungan ini & menemukan kembali lebih banyak balon yang hilang di luar sana.

Lirboyo, 18 Agustus 2010

Selasa, 03 Agustus 2010

Kelompok 7

Entah kapan harinya aku nulis di dinding FB bahwa sekarang aku sudah ada di Batur lagi. Eh ada balasan dari tetanggaku, Niha. Kalo dia juga sedang ada di rumah. Wah kebetulan banget. Kami malah bisa smsan lagi. Karena selama ini memang kami sudah jarang banget saling tukar kabar. Nah, pada saat itu Niha mengajakku untuk ikut bedah buku tentang Gus Dur di UIN Suka Jogja. Duh, apa lagi ini? Tentu saja aku belum bisa menjawab ya. Karena banyak pertimbangan yang berseliweran di kepala. Motor di rumah cuma satu, itu aja kalo pagi dibawa bapak & ibu manasik haji. Trus kalopun nanti akhirnya jadi berarti tak ada cara lain kecuali boncengan, ya boncengan. Sama wanita lagi. Kalo masih saudara sih gak apa-apa. Eh niha kan masih saudara ding, tunggal buyut. Hehehe. Ditambah aku juga belum punya SIM. Tapi setelah kutimbang-timbang, kenapa tidak?! Mungkin ini memang bukan nasehat hati nurani. Tapi dengan begini kan aku gak cuma mangkrak kaya mesin usang di kamar. Lagi pula bisa jadi sarana nostalgia kita. Siapa sangka bukan? Karenanya aku penuhi ajakan sahabatku ini. Kapan lagi coba kalo gak sekrang?

Esoknya aku belum juga minta izin dari ibu atau bapak. Duh sulit banget sih ngungkapin seperti ini :p. Baru paginya sebelum kita berangkat aku ngomong ke ibu kalo pagi ini aku mau dolan ke Jogja sama Niha. Tak kusangka ternyata tanggapan ibu di luar dugaanku. Kukira mau diceramahin dulu atau langsung tembak gak boleh. Ibu monggo-monggo saja dengan rencanaku ini. Yes! Satu pintu terlewati. Kata Niha (lewat sms) acara dimulai pukul 8 jadi paling gak harus sampai di sana sebelum jam itu, apalagi ada gratisan buku yang dibedah buat 100 peserta pertama. Pagi itu mendadak aku jadi rajin. Mandi pagi (kayak masih sekolah aja), tata-tata ini itu. Pokoknya acara kali ini sudah positif bisa kuikuti. Tak disangka oleh bapak malah diberi uang saku. Wah, makasih banget bapak. Singkatnya semua siap. Kuhampiri Niha yang sedang nongol di pintu rumahnya. Jogja I’m coming!!

Perjalanan panjang kali itu menjadi momen pertama kalinya aku pergi jauh naik motor sebagai pengendara, boncengan sama cewek lagi. Karena selama ini aku hanya dibonceng. Tapi kuusahakan untuk tetap tenang, bersikap biasa & berkonsentrasi pada jalan yang kulalui. Bagi orang lain mungkin sudah menjadi hal biasa naik motor ke mana-mana. Tapi buatku ini bener-bener menjadi pengalaman berharga. Soalnya aku belum mempunyai SIM. Hehehe. Lungo adoh gak nggagas aturan. :P

Sepanjang perjalanan kami ngobrol naglor ngidul memecah keheningan jalan. Gak cuma diem aja kemudian malah ngantuk. Hingga tak terasa sudah sampai di tempat tujuan kami, UIN Sunan Kalijaga Jogja. Tanpa basa-basi kami menuju gedung fak. Tarbiyah & Soshum di sebelah kanan jalan. Sempat bingung juga karena kami memang bukan termasuk warga sini, jadi tak begitu tahu lokasi acara ini. Setelah keliling tanya sini situ akhirnya ketemu juga gedung soshum yang digunakan acara. Banyak mahasiswa di sekitarnya. Aku membayangkan menjadi salah satu di antaranya. Rasanya kok kurang bersahabat ya? Gak seperti di tempat yang sudah aku singgahi. Ah ini kan cuma perasaan saja.

Kami memasuki ruangan lumayan luas dengan masih banyak kursi kosong di dalamnya. Aku dapat nomor 41 sedangkan Niha 40. artinya kami masih termasuk peserta yang berhak membawa pulang buku gratis. Kursi tengah yang kosong menjadi jujugan kami. Dari Niha aku jadi tahu kalo sebenarnya ini semua adalah undangan dari Udin. Dia ternyata malah jadi mahasiswa di sini, walau bukan termasuk panitia. Jika yang ngajak Udin pastinya dia juga ikut acara ini. Tapi dari tadi kok gak kelihatan ya?

Kami kembali mengisi waktu dengan obrolan karena memang acara belum dimulai. Tiba-tiba aku dikejutkan Niha yang memanggil seseorang. Udin melengos menatap kami. Dia yang sedang berdiri mencari tempat duduk kami langsung menempati bangku kosong di sebelahku. Wah ternyata benar-benar menjadi momen nostalgia. Banyak yang berubah dari dia. Lebih banyak jerawat, lebih tinggi dengan gaya yang tak berubah, pakaian necis, rambut rapi tersisir dan kali ini ditambah sepatu pantovel. Tetap menonjolkan gaya resminya. Karena acara belum mulai juga kami mulai aja dengan ngobrol lagi. Gaya bicara udin juga sudah berubah, kini lebih berbobot dengan diberi kutipan dari mana saja.

Begitu jam menunjuk angka 9 acara baru mulai. . . . .

---
Pukul 12 acara selesai. Para peserta menyerbu satu-satunya pintu yang tersedia untuk keluar. Kami bertiga leyeh-leyeh melihat pemandangan ini, mendingan terakhiran aja. Yang penting kan nantinya juga dapet buku. Setelah longgar kami baru keluar. Oleh panitia kami diberi nasi kotak. Untuk buku aku & Niha yang belum mendapatkannya masih harus berjuang ditengah kerumunan orang yang lagi-lagi mengantri. Tapi tak perlu waktu lama untuk mendapatkan buku kecil warna coklat ini. Kali ini waktunya bersantai sambil menyantap hidangan dari panitia. Di lantai atas aku & Niha melahap habis nasi lele ini, sedangkan Udin hanya menghabiskan minumnya saja.



Selesai makan sambil (lagi-lagi) ngobrol kami sholat dzuhur. Sebenarnya Udin mau langsung pulang, tapi karena Niha masih belum kenyang (hehehe) kami ditraktir es di seberang kampus. Senang banget bisa kumpul dengan teman lama lagi.

---
Jika dilihat kami bertiga seperti kelompok 7-nya Naruto. Aku sebagai Naruto, Udin sebagai Sasuke dan Niha sebagai Sakura. Kok bisa? Hehehe. Ini hanya pendapatku saja kok. Kita kupas yuk..

Kumulai dari Udin aja ya. Soalnya begitu melihat Udin aku jadi inget Sasuke. Sasuke adalah seorang misterius dengan kemampuan mengagumkan jika dibanding dengan teman sebayanya. Di kelas dia menjadi bintang & mampu memikat wanita tanpa harus berlagak di depannya. Pokoknya jika dibandingkan dengan Naruto, Sasuke jauh di atasnya. Tak heran jika Naruto selalu iri jika di depan Sasuke. Sedangkan Udin dulu juga merupakan bintang di kelas. Kemampuannya mencerna & memahami pelajaran memang patut diacungi jempol. Tak heran jika nilai rapotnya selalu mendapatkan peringkat 1. tak hanya itu Udin juga pandai banget membuat wanita jatuh hati. Tapi berbeda dengan Sasuke, Udin lebih menonjolkan sikapnya. Entah itu perhatian, pujian atau guyonan. Begitu udin mengeluarkan jurusnya itu dijamin wanita kan terpesona. Wajar jika dulu ia kurang disukai teman-teman kami yang laki-laki. Hehehe, maaf ya Din. :p

Selanjutnya Sakura. Sakura adalah satu-satunya wanita dalam tim 7 punya Naruto. Ia adalah orang yang disukai Naruto sejak pertama satu kelas di akademi ninja. Sayang waktu itu sakura menganggap Naruto sebagai pengganggu hubungannya dengan Sasuke. Padahal Sasuke sendiri tidak tertarik pada Sakura. Dengan kata lain Sakura adalah salah satu wanita yang mengagumi pesona sasuke. Selain itu ia merupakan ninja medis. Lalu bagaimana dengan Niha? Mengenai suka tidaknya dengan Sasuke (Udin) aku kurang tahu sih :P. yang jelas Niha merupakan ‘korban’ dari jurus mempesona dari seorang Udin. Hehehe. Kok bisa? Sebenarnya ini kudapat dari blog Niha sendiri. Bahwa dulu Udin perhatian banget sama dia. Jadi sama kan dengan sasuke yang dapat memikat wanita?. Trus ditambah lagi sekarang ini Niha sedang mendalami ilmu medis (farmasi). Begitu pula sakura yang seorang ninja medis.

Terus bagaimana dengan Naruto? Naruto selalu menjadi orang yang ketinggalan dalam masalah akademis jika dibandingkan dengan kedua temannya. Tapi Naruto menang dalam hal semangat. Oleh gurunya sendiri ia dijuluki sebagaai ninja penuh kejutan nomor 1. Selain itu Naruto merupakan salah satu orang dengan klan istimewa di desanya, keturunan Hokage keempat. Bagaimana dengan diriku? Sebenarnya tak banyak yang mirip antara aku dengan naruto. mungkin dalam hal ‘ketinggalan’ aku menyamainya. Prestasiku memang tak secemerlang kedua temanku di atas. Naruto juga kalah soal memikat wanita. Gayanya ceplas-ceplos tak peduli siapa yang dihadapi. Aku juga mungkin seorang yang kurang bisa memberikan perhatian lebih kepada wanita. Aku lebih suka hubungan apa adanya. Gak perlu menunjukkan sikap agar wanita terpesona. Walau begitu posisiku unggul sebagai orang yang masih meneruskan pendidikan agama di pesantren. Padahal dulu Niha ingin banget masuk pesantren. Udin juga mungkin begitu.

Bagaimanapun juga ini semua adalah pendapatku. Bisa saja salah. Aku kepikiran membuat tulisan ini setelah kembali beertemu dengan kedua temanku tadi & membaca blog Niha. Dalam tulisannya hanya tiga orang yang dibahas diantara teman-temannya, Udin, Aku & lik Afif. Nah, mungkin tulisan ini bisa melengkapi pendapat pribadinya yang ditulis di blog.

Selasa, 20 Juli 2010

Di Balik Satu Abad Lirboyo

dari gubug kecil peninggalan sang guru
mbah Manab memulai perjalanan ini
dengan hanya berbekal ikhlas & tawakal
mbah Manab menempa mental santri-santrinya
dengan bermodal 'nggih', manut pada guru
mbah Manab berhasil membuktikan

Inilah Pesantren!
Inilah Lirboyo!

sekian ribu tapak tilas tergores
sekian ribu kisah & riwayat
menjadi saksi bisu perjalanannya
hingga kini
100 tahun sudah rintisan mbah Manab berdiri kokoh
Satu Abad sudah Lirboyo berkiprah

...

panflet, spanduk, baliho
hingga kabar mulut kr mulut
menjadi media yang menyebarkan usianya
mendadak Lirboyo menjadi buah bibir yang tak habis untuk selalu dibicarakan
mbah Manab, mbah Marzuki, mbah Mahrus, gus Makshum
Alfiyah, fathul Qorib, hingga senggot
menjadi topik menarik
tiap cangkrukan di mana-mana

seminar demi seminar mewarnai aktivitas
bakti sosial semakin mempererat hubungan Lirboyo dengan masyarakat sekitar
musabaqoh-musabaqih membuat suasana semakin meriah
lontaran jawaban Mubahhits dalam bahtsul masail
membuat penontonnya semakin berdecak kagum
kemeriahan bazar juga tak kalah menjadi perhatian
souvenir-souvenir berjejer menghiasi etalase toko-toko sepanjang jalan
logo-logo Satu Abad hasil coretan kreatif tangan santri membuat tembok semakin berwarna
semuanya demi memeriahkan
Peringatan Satu Abad Lirboyo

dan puncaknya
sekitar 30.000 jama'ah berkumpul bersama 100 kiai & habaib
untuk beristighotsah di area Al muktamar
sekitar 10.000 alumni berdatangan demi bernostalgia bersama
mengikuti MUNAS HIMASAL
berpartisipasi dalam Silaturahim bersama Presiden
di pondok tercinta
tokoh-tokoh nasional hasil gemblengan Lirboyo
membakar kembali himmah sebagai santri dengan gojlokannya
dalam acara Reuni Akbar

di balik itu semua
aku sangat bersyukur bisa menjadi bagian kecil
dari besarnya Peringatan Satu Abad Lirboyo ini

Lirboyo, 22 Juli 2010

Jumat, 16 Juli 2010

Trio Pembakar Semangat

Selama satu tahun ini dengan perpindahan kwartal hingga kini yang terakhir aku mulai tahu karakter masing-masing mustahiqku. Sistem pengajaran di sini tiap tiga bulan mustahiq yang akan mengajar, membimbing & memotivasi kami berganti sesuai dengan mustahiq kelas lain yang masih satu bagian. Bagian B diajar oleh Bpk. Muqorrobin Afandi, Bpk. Zamroji Assunan, dan Bpk. Mudaimulloh Azza. Yang bikin bangga ketiga-tiganya adalah termasuk dewan perumus LBM induk. Sayangnya selama ini aku baru bisa membanggakan saja, belum meneladani sepenuhnya.
Dulu aku masuk kelas pertaman di kelas pak Bin. Alasan waktu itu cuma satu, ada temanku, Asnawi. Aku tak mencoba saran teman-teman untuk menjajal satu per satu kelas hingga menemukan yang cocok. Pikirku toh pelajarannya sama. Padahal oleh panitia ujian masuk aku seharusnya masuk di bagian B3, pak Daim. Aku memang belum mengenal musathiq kelas 1 Tsn. Makanya kelas B1 merupakan pilihan pertama sekaligus terakhir setelah ujian masuk.
Jika disimak pak Bin dalam mengajar pelajaran lebih banyak terpaku pada teks. Tapi tetap ada motivasi & wawasan lain yang disampaikan. Pak Bin memang bidangnya bukan berpidato hingga berbusa-busa, tapi lebih pada ngaji kitab dan telatennya. Asli beliau adalah satu-satunya mustahiq bagian B yang paling rajin, telaten, sregep, dan ‘sayang’ dengan anak didiknya. Bayangkan sudah ada di depan kelas 10 menit bahkan 5 menit setelah teng lalaran berbunyi. Karenanya aku sering kena takzir karena tak bisa mendahului pak Bin berangkat sekolah & musyawarah. Beliau juga paling telaten dalam membimbing & menjaga setoran hafalan teman-teman hingga muhafadhoh kemarin. Bahkan bagi teman-teman yang belum berpredikat jayyid dalam muhafadhoh maupun setoran masih dianggap mempunyai tanggungan pada beliau. Sedangkan mustahiq lain, jangankan setoran hingga muhafadhoh, setoran rutin mingguan saja mungkin agak santai. Oleh karena sikap pak Bin yang telaten ini pak Zam kadang gojlok pak Bin sangat keibuan dalam mentarbiyah anak didiknya. Walau begitu aku sangat bersyukur mendapat mustahiq seperti beliau. Karena dengan begitu tak ada kata santai & selalu merasa disemangati. Tak salah dulu aku ikut Asnawi di kelasnya.
Begitu masuk kwartal II, B1 mendapat giliran rolling pindah ke kelas B2 dengan mustahiq dari B3, pak Daim. Kesan pertama melihat pak Daim rasanya horror banget. Bagaimana tidak, secuil senyum saja jarang tersungging di wajah beliau. Dan ternyata bukan aku saja yang merasakan euforia ini. Karena sikapnya yang kelihatan selalu tegang ini tak banyak kasus membolos di kelas kami. Tak perlu tanya macem-macem, siapa yang tidak musyawarah, tidak lalaran dan tidak-tidak yang lain. Hanya itu. Selama menjadi rois Alfiyah di kwartal ini setoran hafalan pelajaran bisa dihitung. Tapi begitu ‘interogasi’ pak Daim keluar hanya segelintir yang berdiri. Ternyata ampuh juga sikap cuek seperti ini.
Bagiku sistem pengajaran pak Daim berkebalikan dengan pak Bin. Beliau lebih banyak berbicara secara kontekstual & berbagai macam masalah aktual di luar sana dengan tetap berpatokan dengan pelajaran yang diajarkan. Bisa saja ketika menerangkan Alfiyah atau I’rob penjelasannya nyasar hingga ke ranah perpolitikan negeri ini. Tapi dengan begini aku justru merasakan semangatku bertambah. Jangan terlalu terpaku pada teks. Selain itu pak Daim juga paling jago untuk membakar himmah kami sebagai santri Lirboyo untuk masa depan, tak malu dengan predikat santri & memotivasi kami agar bisa memadukan akademik (kuliah) dengan salaf (pesantren). walau beliau sendiri sebenarnya belum pernah mengenyam bangku kuliah, aku yakin kemampuannya bisa disandingkan dengan dosen-dosen di kampus. O iya ada satu lagi ciri khas pak Daim, untuk urusan musyawarah beliau nomor satu. Musyawarah kelas, pra FQ, Fathul Qorib hingga forum-forum Bahtsul masail selalu beliau tekankan pada kami. Dan puncaknya kemarin beliau masuk ANTV karena bahtsu yang membahas rebonding. Bangga deh punya mustahiq seperti pak Daim.
Mustahiq selanjutnya untuk bagian B1 adalah pak Zam dari B2. menurutku sistem pak Zam merupakan gabungan antara kedua mustahiq sebelumnya. Penjelasannya tak pernah jauh dari kitab kuning. Tak jarang aneka ayat al Qur’an, hadits sampai maqolah dari berbagai kitab beliau utarakan. Kama qila fi… dan penjelasan pak Zam juga selalu berhubungnan dengan tasawuf, pendidikan hati. Makanya lebih terkesan sebagai wa’idh, ‘seksi’ mau’idhoh hasanah.
Gaya khas dari pak Zam adalah gojlok. Kebanyakan gojlokan ditujukan bagi teman-teman yang ‘bermasalah’. Karena digunakan untuk menyadarkan orang gojlokan-gojlokan beliau selalu berbobot & berisi. Tidak sembarang gojlok seperti pada jam’iyyah-jam’iyyah pada umumnya. Tapi karena namanya gojlokan tetap saja terasa cair & tak jarang bikin ketawa. Namun tetap membekas di hati & membuat kita berpikir. Tak salah jika di antara ketiga mustahiq kami, pak Zamlah yang paling plek, akrab dengan murid-muridnya. Bahkan kadang sampai terjadi serang-serangan gojlokan. O iya ada satu hal lagi yang khas dari pak Zam, beliau tidak pernah duduk di kursi yang disediakan selama mengajar. Sebagai gantinya teman-teman biasanya sudah menyediakan sajadah lengkap dengan bantal di dekat meja. Mungkin prinsipnya seperti pak Fata, bahwa aku belum pantas menduduki kursi guruku.

Selasa, 13 Juli 2010

Persiapan dari 3 Guruku

Selama satu tahun pelajaran ini banyak wawasan baru dari MHM & segala aspeknya. Kini gambaran Lirboyo itu seperti apa juga semakin jelas. Sayang aku belum bisa memenuhnya. Kitab-kitab pelajaran kelas 1 Tsanawi sudah banyak yang khatam. Terhitung dari 9 kitab yang diajarkan hanya tinggal 1 yang belum khatam, Fathul Mu’in. Tadi malam giliran kitab Waroqot yang menyusul kitan-kitab lain yang sudah masuk lemari. Nah, momen khataman yang satu ini yang lain dari yang lain.
Tak bisaanya acara khataman kitab 3 kelas digabung menjadi 1. Hari ini memang pelajaran awal tsani kelasku Waroqot, pengantar ushul fiqh. Sengaja begitu ya itu tadi, khataman. Menjelang istirahat pak Bin menginformasikan kalau nanti khatamannya digabung dengan kelas sebelah. Pikirku mungkn seperti Bulugh kemarin yang dikhatamkan ketika gabung dengan kelas B2. Tapi ini tidak. Bayangkan siswa 3 kelas berkumpul dalam ruangan ukuran sekitar 8x9 m. Yang membedakan di kelas B2 yang menjadi saksi bisu lailatul ijtima’ bagian B ini formasinya ditata sedemikian sehingga didepan ada tempat khusus untuk 3 orang mustahiq kami. Entah siapa yang mempunyai inisiatif seperti ini. Yang jelas malam itu menjadi malam berkesan yang mengisi kembali tangki semangat kami yang hampir kosong karena suasana akhir tahun.
Dalam pelajaran tak bisaa ini juga ada MCnya. Lutfi dari kelas pak Daim yang mengatur jalannya acara yang isinya sesuai dengan bidang ketiga mustahiq kami yang berbeda-beda. Pak Bin sebegai qori’ kitab yang mengkhatamkan Waroqot, pak Daim sang motivator dari LBM mengaduk-aduk pikiran kami & merefill semangat dengan doktrin-doktrin khasnya. Dan terakhir pak Zam sebagai penyimpul sekaligus pembaca doa penutup.

Pada malam bersejarah bagi kami warga B itu masing-masing mustahiq memotivasi kami. Yang paling banyak memerikan masukan & tips sebagai bekal kami untuk melanjutkan perjalanan di MHM ini adalah pak Daim. Dengan gaya menggebbu-gebu seolah tak ada titik & koma, pak Daim terus mendoktrin kami. Aku rasakan ada semangat yang meletik di dada. Pak Zam & pak Bin juga begiu, membekali & memotivasi kami, tapi tak sederas motivasi pak Daim.
Pak Daim menyitir hasil muhafadhoh kelas I Tsn kemarin, bahwa untuk tahun ini ada kenaikan dalam peringkat mutawasith & rodi', juga penurunan dalam peringkat jayyid jika dibandingkan dengan kelas I Tsn tahun lalu. Artinya kualitas kelas 1 Tsn tahun ini menurun. Tak tanggung-tanggung hingga 8 %. Melihat kenyataan seperi ini siapa yang tahan untuk tinggal diam? Aku sendiri kadang bertanya kenapa banyak teman-teman yang tidak mencapai target nadhom, kenapa bisa sebegitu mudahnya menerima hasil mutawasith bahkan rodi'? menurut mustahiqku dari Ngawi ini penyebab pokok dari ini semua adalah (kurangnya) persiapan.
Banyak orang yang meremehkan hal sepele namun amat berharga ini. Bagaimana tidak, kebanyakan dari kita lebih senang mengerjakan sesuatu jika sudah mepet, dikejar deadline. Padahal dengan berbekal persiapan yang cukup tak usah banyak-banyak, apa yang kita hadapi akan terasa lebih ringan. Ujian, belajar, menulis, nglalar hingga bayar hutang kebanyakan lebih memilih waktu-waktu kritis ketika sudah mendekati hari H. entah kenapa itu semua kita nikmati sehingga menjadi karakter.
Aneka tips & masukan pak Daim kemukakan. Bagaimana mengoptimalkan waktu musyawarah, waktu sekolah, waktu belajar, hingga waktu mondok yang relatif terbatas. Bahwa madzhab Lirboyo yang berupa al fahmu ba'dal hifdhi lebih beliau tekankan untuk dibalik. Pahami terlebih dahulu. Hanya pahami. Setelah itu hafalkan. Baru setelahnya dalami & cari referensi-referensi yang mendukung. Usahakan selalu aktif dalam musyawarah. Karena kegiatan inlah yang membuat otak kita semakin tersasah, analisis lebih tajam & tanggapan makin kritis. Untuk bisa isytighol pada ini semua tidak boleh ada kegiatan lain yang mengganggunya, seperti menghafal nadhom & menulis pelajaran. Bukankah suatu fiil hanya bias mempunyai satu ma'mul? Jika dilihat mempunyai dua ma'mul maka salah satunya harus mentaqdir fiil lain. Sehinga satu fiil tetap bisa isytighol pada satu ma'mul saja. Nah, agar semua itu bisa terlaksana perlu adanya persiapan. Sekali lagi persiapan. Persiapan dalam menghafal nadhom agar tidak keteteran & menulis pelajaran agar bisa lebih leluasa belajar. Karenanya oleh pak Daim dalam liburan akhir tahun selama + 2,5 bulan ini diharapkan kami bisa melaksanakan persiapan-persiapan tersebut. Aku jadi teringat nasehat pak Fata dulu, isi liburan dengan nglalar & nulis. Ternyata ini manfaatnya.
Mengenai madzhab Lirboyo tadi tak selamanya pak Daim membaliknya. Beliau tetap menekankan kepada kami untuk tetap melaksanakannya, supaya karakter Lirboyo sesunggunya dapat kami peroleh. Dengan hafal terlebih dahulu maka kita lebih mudah untuk memahami. Jika dibandingkan dengan orang yang hafalannya selalu mepet dengan waktu setoran tapi tetap lancar masih lebih baik hafal dulu, punya persiapan hafalan. Karena yang lebih penting dari itu semua adalah tsubut yang dihasilkan setelah selesai setoran. Hafalan yang mempunyai persiapan lebih mempunyai bekas daripada yang mengafalkan mepet walau dengan kemampuan otak cemerlang.
Ada satu kata yang terus terngiang di kepalaku, sebanyak apa yang kau tanyakan sebanyak itu pula kau paham. Jika diruntut lebih lanjut ternyata kemampuanku selama ini belum ada apa-apanya. Aku cenderung menerima begitu saja materi yang diajarkan tanpa bersikap kritis yang menimbulkan aneka tanda tanya. Dalam musyawarah pun aku termasuk golongan yang pasif berbicara, walaupun cuma bertanya. Selanjutnya apakah aku bisa memenuhi amanat pak Daim ini? Semoga.
Setelah sekian puluh menit pak Daim menggebu-gebu membakar semangat kami, giliran pak Zam yang menyiramkan nilai-nilai tasawuf yang menyejukkan hati kami. Tak banyak yang beliau utarkan karena waktu juga sudah semakin malam. Apalagi lonceng pertanda jam sekolah usai, pukul 11 sedah berbunyi. Di antara yang beliau tekankan adalah masalah unggah-ungguh kita sebagai santri dengan guru. Beliau mengibaratkan guru sebagai dokter & murid sebagai pasien. Pasien harus selalu patuh pada dokter jika ingn sembuh dari penyakitnya. Jika hanya mematuhi perintah saja tidak mau, siap-siap saja menanggung penyakit yang semakin parah. Begitu halnya murid terhadap gurunya.
Sebagai acara penutup adalah doa oleh pak Zam & mushofahah kepada mustahiq. Malam itu benar-benar malam yang membakar & merefill semangat kami.
Lirboyo 2 Juli 2010

Kamis, 15 April 2010

Mengapa (Naruto) harus gagal?

Jika anak-anak mengidolakan Naruto karena jurus-jurusnya yang keren, para remaja putri menomor-satukan Sasuke karena penampilan fisiknya, teman-teman lain lebih suka pada pertempurannya, maka aku lebih tertarik pada alur cerita & cara penyampaian Masashi kepada pembaca tentang cerita-cerita para tokoh. Jika dibanding dengan novel, sebenarnya Naruto lebih menarik. Selain karena gambarnya yang sederhana dan detil, alurnya juga tak kalah menarik. Bukankah kebanyakan novel yang menjadi favorit adalah yang mempunyai alur rumit?

Satu hal yang begitu menonjol dalam serial Naruto adalah bangkit dari kegagalan. Terhitung dari semua tokoh yang sudah aku kenal adalah berlatar belakang tidak menguntungkan. Bahkan dikucilkan oleh orang-orang sekitar. Naruto sejak kecil dicap sabagi orang bodoh yang biang heboh. Dalam tubuhnya terkurung siluman berkekuatan luar bisaa yang ditakuti orang-orang. Sasuke hidup sebatang kara sejak klan keluarganya dibantai oleh kakaknya sendiri. Sakura dari kecil adalah orang yang penyendiri yang tak tahu kemampuannya. Lee hidup sebagai ninja yang tidak mempunyai kemampuan genjutsu (jurus ninja), hanya bisa mengandalakan taijutsu (fisik). Neji & Hinata hidup dalam kungkungan takdir keluarga Hyuga yang mengikat. Gaara dari kecil merupakan orang yang terbuang bahkan oleh ayahnya sendiri karena dianggap monster. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh dengan latar belakangnya masing-masing.

Kiranya kiasan kegagalan merupakan pijakan awal menuju kesuksesan ada benarnya. Tak sukses yang muncul dengan sendirinya atau warisan dari keluarga. Sukses yang sebenarnya adalah dari diri sendiri. Karena nasihat dari hati nurani lebih mempengaruhi daripada komentar-komentar orang lain. Orang yang sukses adalah orang yang berhasil menemukan impiannya & berusaha sekuat tenaga untuk menggapainya.

Ambil contoh saja Naruto. Satu hal yang begitu melekat & menjadi karakter Naruto adalah pantang menyerah. Dulunya Naruto memang terkucilkan & selalu sakit hati. Seiring bertambahnya usia & teman-temannya Naruto bisa mematri dalam jiwanya untuk selalu berkorban demi melindugi orang yang dicintainya. Karena hal ini ia tidak pernah menyerah sebelum bisa menyelamatkan temannya. Kata-kata khasnya adalah, aku tidak akan menarik kata-kataku. Itulah jalan ninjaku. Sekali maju ia tidak akan mundur sebelum tujuannya tercapai. Mengherankan memang sifat keras kepalanya ini. Tapi di sinilah sebenarnya tumbuh kekuatan itu, nasehat (motivasi) dari diri sendiri. Bukankah Nabi SAW kuga bersabda, istafti qolbak!. Kekuatan dari diri sendirilah yang dapat membangkitkan kekuatan yang lain. Lihat saja ketika Naruto bertarung melawan Gaara juga Orochimaru & Kabuto demi melindungi temannya. Bahkan karena sikapnya ini semangat teman-temannya ikut terbakar. Sikap pantang menyerah & ingin melindungi yang timbul dari diri sendii. Inilah salah satu poin openting yang dapat dipetik dari Naruto.

Nah, sekarang mari kita larikan pada kenyataan. Setelah dari tadi membahas dunia khayalan Masashi Kishimoto mari kita bertanya pada diri kita sendiri, bagaimana dengan kita? Apakah sudah mempunyai tujuan yang jelas? Seperti Hokage yang menjadi tujuan Naruto. Lantas sudahkan kita berusaha mencapainya? Dan ingat kekuatan terbesar adalah dari diri sendiri. Jika tidak maka dari kehidupan sekitar.

Lembaran-lembaran sulit kehidupan yang terjadi pada Naruto dan kawan-kawan adalah hasil observasi sang pengarang juga. Pada kenyataannya memang demikian. Tak ada orang yag sukses yang kehidupannya selalu di atas dari awal hingga akhir. Dan ada saja jalan untuk mencapai puncak tersebut seterjal apapun itu. Hanya orang-orang-orang yang bermental kuat & berkarakter yang dapat melewatinya dengan caranya sendiri. 

Seorang pedagang sukses bisa saja dulunya hanyalah satu dari sekian pengasong atau buruh. Dengan kemauan kuat ia bisa mentas dari perjuangannya sehingga dapat menjadi saudagar. Seorang pelukis, ambil contoh saja Gus Mus, sampai rela menjadi pembantu seorang pelukis terkenal di kotanya demi melihat sang maestro menggoreskan kuas catnya pada kanvas. Seorang mahasiswa atau santri ‘sejati’ harus bisa mengatur waktu kuliahnya yang terbatas agar selalu diisi dengan hal-hal yang dapat menunjang prestasinya. Para bahtsu-is (sebutan untul altivis bahtsu dariku :P) tidak bisa dikatakan tidak ngoyo dalam prosesnya untuk menjadi seorang yang mahir memainkan ibarot & memecahkan masail. Tak jarang diperlukan pelatihan (sorogan) intensif dengan pembimbing & kesadarannya selalu berusaha untuk bisa. Para pendekar pencak atau yang sejenisnya harus rela bontang-bantig badan demi mengusai teknik-teknik yang benar. Tak usah jauh-jauh, ibu juga termasuk orang kuat yang dibesarkan dengan penuh tempaan kesukaran sebagai anak sulung. Ibu rela sekolahnya tidak maksimal karena membantu orang tua (simbah) bekerja demi masa depan adik-adiknya. Walau tak semua sukses tapi kebanyakan sekarang sudah mapan & bisa membahagiakan orang tua.

Walhasil, dari sekelumit aneka kisah orang-orang yang memberikan warna di hidupku atadi mari kita bertanya, sudah seberapa ngoyokah kita yang sudah kita lakukan demi menapai impian? Tinggal kita memilih yang mana, jika usaha lebih tentu menghasilkan yang lebih pula, begitu juga sebaliknya. Karenanya kita harus gagal terlebih dahulu jika ingin mencapai kesuksesan di hari yang akan datang. Bukankah susah, sulit, gagal, & jatuh adalah sebuah keniscayaan untuk meraih mimpi & cita-cita?

Lirboyo,17 April 2010  

Kamis, 11 Februari 2010

Gus Dur, Sebenarnya Panjenengan Itu Siapa?

Hingga kini obrolan-obrolan –mulai dari yang santai sampai yang serius, di warung kopi hingga hotel, cangkruk bareng maupun forum resmi- yang mengangkat tema Gus Dur (GD) masih sering terdengar. Seakan Gus Dur adalah sosok yang tak pernah habis untuk dijadikan obyek. Dalam tubuhnya yang gemuk terkandung banyak topik. Agama, bangsa, negara, politik, seni humor, demokrasi, minoritas … Tak berlebihan jika gelar Bapak Pluralisme disematkan kepadanya.
Ada yang menyamakan GD dengan sosok semar (opini Jawa Pos, 060210). Semar merupakan refleksi dari kullu syai’ (segala sesuatu) yang selalu mempunyai muqobil (pembanding/lawan). Senang-susah, dewa-rakyat, langit-bumi. Demikian juga seperti yang diungkapkan Greg Barton dalam Biografi Gus Dur-nya. Ada yang menganggap penyematan gelar pluralisme dalam diri GD yang ‘kiai’ merupakan pelecehan. Kemudian diluruskan oleh adik GD sendiri (Gus Solah), bahwa pluralisme GD bukanlah menganggap semua agama adalah sama. Tapi pluralisme GD lebih menuju pada ranah sosial, toleransi dalam sesrawungan. Mengingat negara kita merupakan negara majemuk. Kemudian ada lagi, yang menganggap GD adalah tokoh yang sangat pantas mendapat penghargaan Guiness Book of Record karena banyaknya simpatisan & peziarah ketika beliau meninggal. Bahkan hampir menyamai presiden Mesir, Gamal Abdul Naseer yang ketika meninggal ditakziyahi hingga 4 juta orang. Begitu komentar yang diungkapkan Gus Mus, bolo plek GD.

Menyinggung tentang GD aku mau menuangkan sedikit uneg-unegku tentang almarhum. Hitung-hitung melengkapi tulisanku sebelumnya. Kini aku mulai tahu siapa sosok GD itu.

Beberapa hari yang lalu aku menyempatkan diri untuk menambah koleksi bukuku. Uang yang terkumpul di celengan sudah cukup untuk membawa pulang satu buku. Setelah cari informasi dari sana-sini tentang buku Biografi Gus Dur aku bersama Syueb pergi ke toko Almanar. Setelah membacanya ternyata tak sia-sia aku membelinya. Banyak informasi menarik tentang almarhum di buku karangan Greg Barton ini.
Walaupun aku belum merampungkan buku tebal ini, aku sudah berdecak kagum dengan isinya tentang kehidupan seorang GD. Kini baru sampai di masa ketika GD menjabat sebagai ketua PBNU.
GD muda adalah seorang enerjik & cerdas dengan kegiatan-kegiatan seabrek. Mulai dari mengajar, ceramah, menulis, hingga jualan es lilin menjadi kegiatan rutinnya selama menjalani masa-masa awal pernikahan. Sebelumnya selama proses belajar dari sekolah dasar, pesantren hingga kulliah beliau memang juga seorang aktivis. Sebagai aktivis beliau tak pernah lupa untuk selalu membaca, apa saja di mana saja. Tak heran wawasan & pengetahuannya terlampau luas untuk pemuda seusianya. Tak hanya kitab-kitab kuning pesantren, aneka buku-buku putih dari dalam maupun luar negeri banyak beliau baca. Hal ini membuatku semakin bersemangat untuk terus membaca. Tak hanya teks-teks kitab kuning dari ulama-lama zaman pertengahan yang menjadi ciri khas Lirboyo. Aku ingin seperti GD, selalu haus untuk membaca, apa saja. Karena ilmu Allah luas, lebih luas daripada berjuta-juta lembar kertas di LBM Lirboyo atau perpus, bahkan dengan dunia seisinya. Hoby membaca GD tadi semakin menyemangatiku untk tak segan-segan menambah koleksi bacaan.
Satu lagi hal yang menarik dari kehidupan GD., yaitu tak segan untuk bekerja. Baik ketika kuliah di Kairo & Baghdad maupun ketika sudah berumah tangga. Salah satu pekerjaan beliau pun termasuk pekerjaan sepele yang sering dipandang sebelah mata, jualan es lilin. Apakah ada di zaman sekrang ini, seorang cendekiawan, putra kiai, gus berkeliling menjajakan es? Weleh-weleh, benar-benar seorang yang mempunyai tekad kuat untuk selalu bertanggung jawab pada keluarga. Intinya GD tak pernah segan untuk bersusah payah walaupun predikat yang disandangnya cukup terpandang di masyarakat. Nah, bisakah aku meneladani semangat beliau ini?

Hidup di tengah lingkungan pesantren ternyata tak membuat GD tidak tertarik pada ilmu-ilmu umum lainnya. Bahkan jika kita tengok masa kecil beliau malah ilmu pesantrennya bisa dikatakan kurang. Aneka bacaan milik ayahnya -yang seorang kiai juga nasionalis- dilahapnya tiap hari. Tak jarang bacaan-bacaannya banyak dari Eropa, Belanda (yang menjajah Indonesia kala itu) & Indonesia sendiri. Tentu saja tak ketinggalan kitab-kitab kuning.
Baru setelah SMP GD lebih fokus pada ilmu-ilmu Islamnya dengan masuk ke beberapa pesantren, antara lain Krapyak, Tegalrejo & Tambakberas. Pribadi kiai mulai tercetak dalam dirinya. GD muda tak puas 'hanya' sekolah di pesantren. Oleh karenanya beliau berangkat kuliah guna melanjutkan studi & mengasah otaknya. Al Azhar menjadi singgahan pertamanya. Sayang di sini beliau tak betahan lama karena terjerat masalah kurikulum kampus. Beliau kemudian pindah ke Baghdad. Di sinilah masa-masa perkuliahan beliau hidup. Jiwa mahasiswa yang selalu ingin tahu & bersuara berkobar dalam jiwa seorang GD. Membaca kehidupannya sebagai mahasiswa membuat keinginanku untuk kuliah muncul kembali. Aneka kegiatan kampus & organisasi yang diselingi dangan kerja sambilan menjadi rutinitas. GD saja bekerja saat kuliah. Benar-benar membuat iri. Masih muda tapi sudah melanglang ke mana-mana. 4 tahun beliau menjalani kuliah d Baghdad hingga selesai. Setelah itu keinginan GD adalah melanjutkan kuliah S2-nya di Eropa. Sayang tak ada satu kampus pun di sana yang mengakui ijazah dari Baghdad. Dengan kecewa, setelah setengah tahun keliling Eropa mencari peluang kuliah, GD pulang ke tanah air.

Dari sekelumit sebagian kehidupan GD di atas tak sedikit membuat semangat terlecut. Semangat membaca, berbakti, belajar, bekerja & kuliah. Sebagai pemuda sudah pasti kita melewati hal-hal tersebut. Yang menjadi pertanyaan bisakah kita memoles masa muda kita agar kelak dapat memberikan bekal di kehidupan dewasa kelak.

Tak terasa telah 40 hari kita ditinggalkan guru bangsa kita. Akan tetapi sosoknya seakan belum ikut pergi. Topik-topik obrolan & cangkrukan mengenai GD akan selalu hidup & tidak akan hilang. Karena perjuangan & gagasannya yang menjadi PR untuk kita semua harus selalu kita lestarikan.

Lirboyo, 7 – 10 Februari 2010

Sabtu, 09 Januari 2010

Gus Dur di Mataku

GUS DUR DI MATAKU
Mungkin satu-satunya santri Indonesia yang sukses hingga pernah menjadi orang nomor wahid di Indonesia adalah KH. Abdurrahman Wahid. Tengok saja sejarah para ulama dahulu. Apakah ada yang sampai menjadi pemimpin nomor satu di negara? Rasanya tidak ada (atau aku yang belum tahu?). Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Raden Patah, Joko Tingkir mungkin juga seorang pemimpin. Akan tetapi Gus Dur beda. Beliau tak hanya menjadi pemimpin, tapi juga seorang revolusioner. Jadi jika dibandingkan dengan tokoh-okoh di atas masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Apalagi Gus Dur menjabat sebagai pemimpin ketika bangsa Indonesia sudah berbentuk republik.
Di mataku Gus Dur adalah sosok kontroversial sekaligus panutan. Semasa menjabat menjadi presiden aku kurang begitu tahu bagaiman gaya & sikap beliau dalam memimpin. Dari sumber-sumber yang ada menyebutkan bahwa pemerintahan periode Gus Dur adalah pemerintahan yang sangat terbuka dengan rakyat. Setelah 32 tahun Indonesia yang republik menganut kepemimpinan sentralistik dan otoriter, Gus Dur dengan gaya khasnya membanting stir menjadikannya sistem demokrasi. Tentu saja ini merupakan terobosan bagi Indonesia dan jasa terbesar bagi Gus Dur. Selama memimpin suasana terkesan begitu cair, tidak kaku seperti selama pak Harto menjadi ‘raja’. Tak jarang guyonan-guyonan terlontar setiap Gus Dur berpidato. Aku hanya mengetahuinya sepotong-sepotong, baik itu dari cuplikan teve, kutipan berita atau potongan tulisan mengenai Gus Dur. Maklum kala itu aku masih MI, mana sempat mikir begituan?
Aku hanya tahu sikap-sikap kontroversial Gus Dur justru setelah beliau lengser dari kursi kepresidenan. Mulai dari pembelaan Inul, Dorce, Ahmadiyah, Syi’ah, RUU APP, etnis Tionghoa dll. Semua itu aku masih ingat. Yang masih teringat jelas adalah saat kasus Inul yang digugat oleh bang Rhoma karena telah menjadikan dangdut sebagai ajang eksploitasi tubuh. Dengan tegas Gus Dur beserta istri membela Inul yang ‘sendirian’. Pada kasus Ahmadiyah juga demikian. Bahkan ketika Gus Dur mendukung massa anti-RUU APP para kiai di Jatim sampai kress dengan beliau. Dan yang paling tertoreh dalam sejarah adalah penghapusan kesan buruk pada etnis Tionghoa. Hingga Konghuchu dapat menjadi agama yang sah di Indonesia seperti halnya agama-agama lain di sini. Aku sendiri kadang bingung dengan sikap & keputusan beliau. Mau dibantah kok ya kiai? Mau setuju kok ya benar-benar “terlihat’ salah?
Akan tetapi kekontrasan sikap beliau inilah yang menjadikan beliau dicintai rakyatnya. Karena Gus Dur selalu membela kaum minoritas, pinggiran, tertinggal & terbuang. Bagaimanpun bentuknya Gus Dur tak segan-segan melawan arus mayoritas, jika menurut pandangan beliau kaum minoritas memang perlu dibela. Apakah kaum minoritas tersebut jelas-jelas tak sesuai dengan agama tetap Gus Dur bela. Karenanya beliau selalu dicintai kaum minoritas ketika membelanya dan disegani kaum mayoritas ketika sudah terlihat dampak dari sikapnya tersebut. Tak heran semua lapisan masyarakat nasional maupun internasional sangat berduka cita atas kepergian Sang Pluralis.
Mungkin sikap & pandangan beliau yang terlampau luas ini karena latar belakang pendidikannya. Walau Gus Dur lahir & dibesarkan di lingkungan pesantren orangtuanya memberi kesempatan seluas-luasnya untuk menuntut berbagai macam disiplin ilmu. Tak hanya berkutat pada berjilid-jilid kitab kuning tapi juga menambah wawasan dari buku-buku putih dari dalam maupun luar negeri. Bahkan konon dulu ketika mondok di Tegalrejo Gus Dur sering bolos ngaji demi memuaskan minat bacanya ke perpustakaan atau toko buku. Mbeling memang, akan tetapi dapat kita saksikan sendiri hasilnya.
Gus Dur yang santri tak hanya melihat dunia dari kacamata agama & pesantren, akan tetapi dapat melihat dari berbagai disiplin ilmu. Gus Dur yang santri tak berpandangan sempit yang menjadikan diri terkungkung dalam fanatisme. Gus Dur yang santri menjadi sosok demokratis yang sangat menghargai perbedaan yang sudah menjadi keniscayaan sunnatullah. Tak berlebihan jika pak SBY hingga memberikan gelar Bapak Pluralisme & Multikulturalisme kepada almarhum.
Di luar itu semua ada satu hal dari Gus Dur yang kuanggap istimewa. Hingga menjadi pelecut semangat dalam kehidupanku sekarang. Bahwa KH. Abdurrahman Wahid adalah santri nomor wahid di mataku, karena berhasil membuktikan bahwa tidak selamanya pesantren menjadi orang pinggiran. Bahkan dapat menjadi orang nomor wahid di negeri Indonesia ini. Jika dipikir secara rasional apakah bisa seorang yang tak punya ijazah formal kecuali hingga SMP, berbekal ilmu dari pesantren baik di Indonesia (Krapyak, Tegalrejo, & Tambakberas) maupun di luar Indonesia (Kairo & Baghdad) bisa diangkat menjadi presiden. Padahal jika melihat kenyataan sekarang, ‘hanya’ untuk menjadi PNS saja minimal harus berijazah S1. Belum jika mau mencalonkan diri menjadi bupati, gubernur atau presiden. Bukankah prestasi tersebut sangat mengharumkan nama pesantren di negeri ini? Karenanya sebagai insan pesantren jangan takut, malu atau minder untuk menggantungkan cita-cita setinggi-tingginya. Kalau Gus Dur yang santri saja bisa kenapa kita tidak?

Sudah satu minggu lebih Gus Dur meninggalkan kita, bangsa ini. Dengan meninggalnya ulama ini Allah telah mencabut satu dari sekian ribu ilmuNya. Telah hilang satu pegangan kita, yang berarti semakin melemahkan kita. Diperlukan pengganti pegangan dalam hidup kita ini. Akan tetapi adakah ulama yang bisa dijadikan pegangan sekaliber Gus Dur? Entahlah. Yang jelas kita tidak boleh begitu saja mencari pegangan tanpa melihat latar belakangnya. Karena jika kita salah memegang tambatan bisa jadi malah semakin jauh dari jalan Allah.
Gus Dur telah tiada. Akan tetapi jiwanya masih hidup & menghidupi hingga kini. Banyak pelajaran & hikmah yang dapat diambil dari seorang santri sekaliber Gus Dur. Bagaimanpun juga kita sebagai santri tak boleh berhenti meneruskan perjuangan beliau. Karena cita-cita yang beliau canangkan untuk bangsa, negara & agama ini belum sepenuhnya tercapai. Dan itulah yang menjadi PR bagi kita semua.

Selamat jalan Bapak pluralis & demokrasi. Semoga apa yang engkau perjuangakan dapat selalu lestari di bumi pertiwi & diridhoi Ilahi Robbi.

Lirboyo, 9 januari 2010  


Sabtu, 02 Januari 2010

Suka dan Duka Penutup 2009

Tahun ini 2 anggota keluarga besar Syafi'i mendapat kesempatan untuk ziarah ke Makkah al Mukarramah & Madinah al Munawwarah. Lik Rodhi & lik Karoh menunaikan rukun islam yang ke lima, Haji. Aku & Kafa yang sudah di pondok menyempatkan diri untuk mengikuti prosesi pemberangkatan hingga ke Lapangan Trikoyo Klaten. Setelah itu rombongan kloter 85 tersebut melaju ke donohudan untuk mempersiapkan penerbangan esok hari.

Selama beliau berdua di tanah suci aku kurang mengetahui bagaimana kabarnya. Yang kutahu hanya beberapa kali lik Rodhi berkomunikasi dengan pihak keluarga di rumah. Tentu saja aku tak tahu, aku berada di pondok selama beliau beribadah di tanah suci. Lik Rodhi hanya 1 kali menelpon Kafa ketika di pondok. Aku memaklumi. Karena jika terlalu sering menjalin komunikasi bisa saja malah mengganggu kekhusyukan ibadah di sana.

Tak terasa sudah 40 hari keluarga di rumah ditinggal oleh lik Rodhi & lik Karoh. Sudah saatnya rombongan kloter beliau pulang. Dulu Kafa sempat memberitahuku kalau beliau pulang kembali tanah air akhir Desember, tepatnya tanggal 30. sehari sebelum hari itu kami yang masih di Lirboyo menyempatkan diri untuk pulang guna menjemput kedatangan beliau di Donohudan. Aku, Inun, Kafa & Fatah pulang hari Rabu.

Malam Kamis lik Rodhi menelpon ke rumah. Bahwa beliau sudah mulai naik pesawat & akan landing. Jam menunjukkan angka 8 malam WIB. Dan akan mendarat sampai di bandara Adi Sumarmo esok pagi sekitar pukul 7. Saat itu Inun juga memberitahu kalau ada berita duka mengenai Gus Dur. Tentu saja aku kaget & belum percaya. Akan tetapi begitu melihat siaran berita di teve aku baru menyadari jika itu bukan hanya kabar burung. Seorang tokoh besar, bapak bangsa & NU telah meninggal dunia. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.

Bapak juga tampak tak percaya ketika kuberitahu. Dari layar kaca tampak suasana RSCM tempat Gus Dur menghembuskan nafas terakhir. Malam itu mendung duka menyelimuti kami semua. Padahal besok adalah hari kedatangan lik rodhi & llik karoh setelah 40 hari berhaji. Akankah mendung duka ini juga akan menyelimuti suasana suka cita esok hari?

Seluruh stasiun teve menayangkan siaran langsung terkait kabar duka ini. Dari sekian stasiun teve MetroTV & TVOne yang meliput semua kondisi tempat almarhum menghembuskan nafas terakhir di Jakarta dan tempat terakhir bersemayamnya di Jombang. Malam itu tayangan prosesi pengurusan almarhum menjadi tontonan kami. Bapak baru ikut menyaksikan siarannya setelah selasai dari ngaji di Ngeseng. Rencananya almarhum akan disemayamkan di Tebuireng, Jombang di samping kakek dan abahnya, KH Hasyim Asy'ari & KH Wahid Hasyim. Jenazah akan diberangkatkan dengan pesawat dari Jakarta esok paginya. Dan nantinya prosesi pemakaman akan menggunakan upacara kenegaraan. Tentu saja Gus Dur kan mantan presiden. bapak sebenarnya ingin ikut melayat ke Jombang. Tapi karena besok ada acara yang sangat penting & tak bisa ditunda lagi, bapak memilih mendahulukan urusan keluarga. Toh tak ada salahnya mendoakan beliau dari sini. Kalaupun mau mengikuti prosesi pemakaman jenazah seluruh stasiun teve akan meliputnya.

===

Kami berangkat dari rumah pagi menuju ke asrama haji di Donohudan. Sampai di sana pakde, bude, mbak, mas & para keponakan sudah berkumpul di luar area asrama. Lama juga kami menunggu di sini. Pukul setengah sembilan 8 bus bandara memasuki area Donohudan. Para penjemput memang tidak diperbolehkan masuk ke dalam. Tentu saja agar prosesi pemulangan dapat berjalan lancar. Kami di luar hanya bisa melihat para rombongan haji yang dibawa bus.

Ternyata tak hanya pengoperan ke bus dari kabupaten saja yang menjadi agenda acara di dalam. Masih ada upacara penutupan yang lagi-lagi memakan waktu cukup lama. Terpaksa kami menunggu lagi. Rombongan pakde Syakur memilih untuk menunggu di Dlanggu, transit para jamaah sebelum menuju ke rumah masing-masing. Keluargaku & rombongan pakde Muhadi yang masih tersisa di sni. Walau upacara penutupan belum selesai benar ternyata sudah banyak jamaah yang meninggalkan tempat dengan dijemput anggota keluarganya sendiri, tidak ikut rombongan bus dari kabupaten. Melihat hal itu kami juga mau langsung membawa lik Rodhi & lik Karoh dengan mobil sendiri. Alhamdulillah tak lama kemudian lik Rodhi muncul dengan pak Panji. Pertemuan singkat itu memutuskan agar lik Rodhi & lik Karoh langsug naik mobil dari sini saja. Tak lama rombongan yang kami tunggu datang dengan membawa banyak bawaan. Lik rodhi, lik Karoh, Kafa, Fia, An'im, & pak Panji. Segera setelah melepas kerinduan sebentar rombongan kami meninggalkan Donohudan. Mobil pakde Muhadi ditempati keluarga lik Rodhi & di mobil kami ketambahan bude Kis. Akhirnya semua berjalan lancar, walau tak mengikuti upara penutupan hingga selesai.

Keluarga di Jeblogan yang tidak ikut menjemput sudah siap menyambut kedatangan beliau berdua. Acara penyambutan dilangsungkan di masjid. Dari masjid kemudian lik Rodhi & lik Karoh bersama rombongan lain berjalan kaki menuju rumah dengan diiringi tabuhan hadroh. Lik Rodhi diminta berdoa sesampai di depan pintu rumah. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa doa orang yang berhaji mustajab. Lik Rodhi mendoakan kita semua yang ada di sini agar juga mendapat panggilan ke tanah suci. Amiin. Istajib du'aana ya Robb. Setelah itu satu per satu tamu datang dan pergi hingga dzuhur menjelang. Alhamdulillah anggota keluarga kami sudah kembali pulang setelah 40 hari bertamu di Baitullah tanpa kekurangan suatu apa pun.

===

Sepulang dari acara penyambutan haji di Blogang kami sekeluarga menyimak prosesi pemakaman Gus Dur di Tebuireng lewat televisi. Lautan manusia membanjiri area Tebuireng. Mereka semua ingin menjadi saksi kepergian sang guru & bapak bangsa. Santri, masyarakat, pejabat, kiai, aparat hingga para pemuka dari berbagai agama turut hadir & berduka cita atas kepergian almarhum. Sejak pagi hingga siang itu para pelayat dari seluruh pelosok hadir. Menunggu hingga pemakaman selesai.

Ba'da Dzuhur jenazah Gus Dur tiba dari bandara Juanda, Surabaya setelah terbang dari Halim Perdana Kusumah, Jakarta. Iring-iringan belasan mobil memasuki area Tebuireng. Jenazah terlebih dahulu disemayamkan di masjid Ulil Albab yang berada di luar komplek pesantren untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin menyolati & berdoa untuk almarhum. Kurang lebih setengah jam kemudian jenazah dipindah ke pendopo area pemakaman di dalam pesantren. Tak semua orang bisa masuk ke dalam karena penjagaan yang behitu ketat langsung oleh aparat TNI. Di dalam kembali dipersilakan bagi penta'ziyah yang berada di dalam untuk menyolati & berdoa di hadapan almarhum. Rata-rata para kiai & santri yang ada di dalam ditambah para pejabat & menteri.

Prosesi upacara kenegaraan memang akan langsung dipimpin oleh Presiden RI. Karenanya masih menunggu hingga satu jam lamanya menunggu para orang-orang yes ngumpul terlebih dahulu. Pukul setengah dua semua sudah siap. Bapak SBY & rombongan baru saja tiba. Upacara dimulai dengan dipimpin oleh jenderal dari TNI. Sebagai inspektur adalah bapak SBY sendiri. Dari berita tadi malam beliau akan memberikan penghormatan terakhir yang terbaik untuk almarhum. Peserta upacara juga dari TNI, baik AD, AL maupun AU. Juga tentunya semua yang hadir baik di dalam pesantren maupun di luar.

Sebagai pembuka adalah pembacaan riwayat hidup almarhum. Dari situ aku dapat mengambil kesimpulan bahwa Gus Dur adalah satu-satunya orang yang berhasil membuktikan bahwa pesantren memang bisa. Kalau perlu bisa dalam segala hal. Gus Dur tidak mengenyam pendidikan formal di indonesia. Almarhum 'hanya' mondok di Tegalrejo, Tambakberas, & Al azhar, Kairo. Tak ada embel-embel sarjana dari universitas manapun di Indonesia. Walau begitu berbagai penghargaan, pangkat, & bintang juga tersemat dalam diri almarhum. Kebanyakan dari luar negeri. Itu semua membuktikan bahwa kita sebagai santri tak boleh mempunyai rasa minder di hadapan siapapun, jika perlu di hadapan presiden. Karena Gus Dur adalah (baru) satu-satunya santri yang menjadi presiden di indonesia.

Acara dilanjutkan dengan penghormatan kepada almarhum sebelum akhirnya dikebumikan. Petugas pemakaman adalah dari aparat & kiai yang ada di sana. Hujan air mata & bunga mewarnai pemakaman ini. Lagu gugur bungan menambah suasana semakin menyentuh. Aku sangat terharu. Akan tetapi tak sampai meneteskan air mata. Setelah jenazah terkubur pak SBY sebagai wakil negara & Yeni Wahid sebagai wakil keluarga mengubur secara simbolik dengan mencangkul tanah & dimasukkan ke liang lahat. Baru kemudian penguburan dilanjutkan hingga rata. Sebagai penutup Bapak Menteri Agama, Surya Dharma Ali & Gus Mus memimpin doa. Setelah semua rangkaian acara selesai pemipmin upacara membubarkan upacara kenegaraan ini.

Kini Gus Dur telah tiada. Bapak & Guru bangsa, bapak pluralisme, bapak multikulturalisme, kiai yang tidak hanya bagi umat islam. Menyisakan mendung duka & harapan beliau yang menjadi amanat kiat semua sebagai warga negara & islam, khususnya NU. Pesan terakhir beliau kepada para santri untuk menjaga sikap pluralisme & melindungi kaum minoritas menjadi tanggung jawab kita bersama. Itu membuktikan betapa besar perhatian beliau terhadap kesatuan negara & agama kita. Semoga amal perbuatan, perjuangan & pengabdian almarhum diterima di sisiNya dan mendapat balasan yang setimpal. Allahummaghfir lahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu. Selamat jalan Gus, jasamu kan terus kami kenang & perjuangkan selalu.

Batur, 2 Januari 2010

Rebana di Oi

Aku tak menyangka bahwa pesantren salaf seperti Lirboyo ini sampai kedatangan tamu sekelas Iwan Fals & organisasinya, Oi. Bang Iwan dari dulu dikenal sebagai seniman bersuara fals dengan berbagai lagu & sikapnya yang kritis membela kaum bawah.

Kedatangan Oi ke Lirboyo karena ada acara yang diadakan Oi sendiri, selain juga sowan ke mbah Kiai sepuh & masyayih. Aula Muktamar terpilih sebagai tempat pelaksanaan Munas Oi IV ini. Dengan tema Berpikir, Berkata & Berntindak untuk Oi dan Indonesia Raya munas ini dapat mengumpulkan perwakilan-perwakilan Oi dari seluruh wilayah Indonesia.

Aku kurang tahu kenapa Kediri yang menjadi tuan rumah. Awalnya aku hanya cuek, paling juga konser biasa. Ternyata tidak. Kang Tohir, kang Daris & Zaki kebetulan ikutan rembugan sehari sebelum hari H bersama panitia. Mereka mungkin dapat masuk kepanitiaan ini karena ikut pak Muttaqin yang juga aktivis Oi. Salah satu keputusannyalah yang membuatku kaget. Kang Tohir menawarkan rebana Kamar Solo untuk tampil saat penyambutan Iwan Fals. Hee, gak salah tuh? Aku hampir gak percaya. Bukankah kontras banget? Oi yang ‘apa adanya’ (sak karepe dewe) mau digabung dengan rebana. Aduh gak habis pikir deh.

Awalnya aku pesimis bisa ikut. Kalau teman-teman lain mungkin bisa saja ikut. Aku terlalu mikir macem-macem. Apa gak malu ‘ngontras’ di antara komunitas yang berbeda? Aku yang notabene masih santri baru MHM masak mau langsung ndablek gini? Terus bagaimana nanti komentar masyayikh? aku sudah gak yakin bisa ikutan tampil besok.

Sabtu paginya ada latihan dadakan. Ternyata kang Tohir tidak bercanda. Rebana Hadiningrat positif tampil dalam pembukaan munas ini. Kulihat teman-teman saat latihan ternyata kekurangan personel. Kang Juweni makaryo, Kafa & Fatah sekolah. Yang tersisa hanya Syueb, Daris, Tohir, Ulin & Lik Birin ditambah Ebi & kang Ihsan. Keadaan tersebut menuntutku untuk ikut tampil nantinya. Ternyata memang sulit banget melepaskan begitu saja bidang yang sudah aku terjuni. Apa boleh buat nanti musyawaroh izin. Kami hanya latihan sebentar.

Pukul setengah 11 tim rebana Hadiningrat berangkat ke aula Muktamar. Ada 8 personel yang diberangkatkan, semuanya ngontel. Aku & lik Bir ditugasi sebagai vokal.

Aura kontras sangat terasa ketika kami masuk gerbang aula. Orang-orang berkaos oblong (mayoritas hitam), celana jins & kadang badan kurang terawat banyak berlalulalang. Sedangkan kami berbaju koko, bersarung & berkopyah. Aku merasa asing di sini. Seakan sekat di Lirboyo menjadi kelihatan. Di dalam aula para Oi berkumpul pating sliwer di luarnya para santri asyik bermusyawarah.

Aku baru kali ini masuk ke belakang panggung aula. Terdapat beberapa ruangan, biasanya untuk sekretariat. Mulai dari persiapan sebelum tampil, ruang tamu dll. Dan setelah kupikir lebih lanjut ini adalah kali pertama aku tampil di aula Muktamar. Wah, gak nyangka banget kan? Penampilan perdana di aula malah pada saat acara dari non-pesanten (bukan acara-acara islam). Dari pintu pojok ruangan ini kami bisa melihat suasana acara. Bahkan aku bisa melihat jelas bang Iwan saat ngisi sambutan. Kapan lagi mendpat kesempatan langka seperti ini?

Setelah beberapa sambutan mengisi acara, giliran kami unjuk gigi. Kami lewat tangga depan ketika kami dipanggil. Dari atas panggung semua terlihat jelas. Wong yes-yes duduk di deretan depan. Diantaranya pak Syamsul ( walikota kediri), bang Iwan, pak Taqin, cak Khan, dll. Kini semakin terjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengganjalku. Ternyata dzuriyah HY yang menjadi penyambung pihak pesantren dengan Oi. Pantas saja tempat yang terpilih Lirboyo & rebana HY yang diminta mengisi. HY memang sip. Tidak hanya berkutat dengan dunia kitab & santri, tapi juga dapat berkoneksi dengan dunia luar. Salut banget dengan pesantrenku ini.

Kami hanya membawakan 2 lagu, Assalamu’alaik & Dhoharo Din al Muayyad. Syukurlah semua berjalan lancar. Bahkan bisa dikatakan aku tidak merasa demam panggung. Selesai tampil kami turun panggung dengan tampa membawa alat. Karena akan digunakan sebagai pembuka munas ini. Biasanya kan lewat simbolis pemotongan pita atau pemukulan gong. Nah, kali ini dengan memukul alat perkusi rebana.

Pembukaan munas dilakukan oleh orang-orang yes, bang Iwan, pak Wali dan juga panitia-panitia senior. Mereka mengambil tabuhan & memukul sekenanya. Suara yang terdengar benar-benar berbeda dengan yang kami bawakan tadi, semrawut. Hehehe hadirin yang melihat pembukaan ini tak ada yang menahan tawanya.
Pada akhir acara kami berkesampatan foto bareng Iwan Fals. Wah, bukankah langka banget? Padahal belum tentu para Oi semua yang hadir di sini bisa berfoto dengan pentolannya, apalagi secara terhormat seperti ini. Bener-bener deh rebana Hadiningrat memang ningrat. Pokoknya ganjalan-ganjalan sebelum acara tadi terjawab sudah.
Puas….

Lirboyo, 5 November 2009